Saat pintu apartemen Spencer terbuka, Chaterin masuk dengan kaki kanan terlebih dulu, dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Berharap dapat melihat Damian di ruang tamu atau di manapun, tapi pria itu tidak muncul, rasa penasaran memaksanya untuk melangkah masuk lebih dalam.
Dia menuju dapur dan memastikan bahwa Damian berada di apartemen ini, tubuh Chaterin menegang saat dia menyaksikan Damian tengah meneguk wine dari botolnya langsung, pria itu terlihat putus asa dan ketakutan. Urat lehernya bergerak saat cairan menyengat itu melewati tenggorokannya, rahangnya terkatup sementara tangan kanannya yang tidak memegang botol terkepal dengan sangat kuat.Chaterin berasumsi Damian benar-benar marah dan sedang tidak ingin melihatnya.Hal itu terbukti karena sampai saat ini Damian masih mangacuhkan dan tidak menatapnya sekalipun. Chaterin yakin pria itu tahu bahwa dirinya masih berdiri di ambang pintu, namun dia tetap berpura-pura dan terus meneguk minumannya.
Saat Chaterin memutuskan untuk berbalik dan menjauh, suara Damian yang berat menghentikan langkahnya. "Kenapa kau tidak mendengarkan perkataanku?! Kenapa setelah kau melakukan kesalahan bukannya meminta maaf, tapi kau memilih untuk pergi dan membiarkanku seperti ini?" Damian membalikan tubuh, matanya menyala marah dengan sejuta pemikiran buruk yang melintas di kepalanya. Sisa ketakutan akan kehilangan gadis itu masih membuat emosinya tidak terkendali. Dia benci saat Chaterin memilih untuk pergi dan bukannya meminta maaf seperti yang dia harapkan.
"Aku...," Chaterin tampak kesulitan untuk mengeluarkan suara, setelah dia menarik napas dalam suaranya kembali terdengar, "Aku hanya tidak bisa terus satu ruangan bersama mereka. Aku rasa kau tahu itu sangat menyakitkan, dan aku tidak tahan untuk lebih lama lagi berada di apartemen terkutuk itu." Dengan segala sisa keberanian yang dimiliki, Chaterin menatap mata biru safir Damian yang berkilat menahan emosi. Dia tidak mau terus disalahkan karena melarikan diri dari hadapan ibu dan mantan kekasihnya yang tengah bermesraan.
"Aku hanya memintamu bertahan untuk sementara, setidaknya bersabarlah dan tunggu hingga aku datang menjemputmu!" Damian berjalan mendekat dia menarik tubuh Chaterin agar merapat ke arahnya, bau alkohol dari mulut Damian membuat kepala Chaterin sedikit berputar, jika saat seperti ini dia tidak bisa berdekatan dengan alkohol—meski baunya sekalipun.
"Aku tahu salah karena mengabaikan perkataanmu, tapi aku benar-benar tidak tahan. Di sana terlalu menyakitkan untukku," Chaterin berkata dengan suara bergetar, hidungnya meraup aroma rempah-rempah yang menguar dari tubuh pria yang kini mendekapnya. Chaterin mendongak saat menatap mata Damian yang berjarak begitu dekat, tubuh mereka saling menempel. Terlihat seperti diberi perekat karena tidak ada celah yang tersisa antara mereka.
"Lalu bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?! Bagaimana jika bajingan-bajingan brengsek itu tadi berhasil membawamu pergi?! Seharusnya kau memikirkan perasaan Delilah, Spencer dan juga AKU!" Damian memberi penekanan di setiap ucapannya, dia ingin Chaterin tahu bahwa perasaannya sangat kacau saat mengetahui gadis itu dalam bahaya. Terlebih dia baru saja mengantarkan Spencer ke rumah sakit.
Damian meringis saat menatap mata abu-abu yang selalu berkilau itu berkaca-kaca, Chaterin hampir menangis. Dia merasa kesal karena Damian tidak memahami perasaannya sedikitpun.
"Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi setelah James menciumku, sementara kekasihnya yang adalah Ibuku hanya berjarak sepuluh kaki di dapur," Chaterin memukul dada Damian dengan sekuat tenaga. Meski dia tahu pukulan itu tidak akan menyakitinya, dia hanya ingin pria itu tahu perasaanya saat ini sama kacau dan tidak menentu.
Tubuh Damian menegang untuk beberapa saat, dia mengerang frustasi dan meninju tembok yang berada di belakang Chaterin. Suara seperti sesuatu yang retak terdengar, membuat Chaterin terkesiap.
Dia yakin itu adalah suara tulang jari Damian yang membentur tembok dengan sangat keras."Apa yang kau la–" suara Chaterin terbungkam saat Damian menciumnya dengan panas. Mendorong tubuhnya hingga menempel ke dinding, dia merasa ciuman itu penuh kemarahan dan putus asa. Semuanya bercampur bersama gairah dan kesakitan yang Damian rasakan, dan Chaterin merasa hal itu dejavu.
Setelah berhasil membuat tubuh gadisnya terpojok, Damian menekan inti tubuhnya yang sudah mengeras pada perut Chaterin. Mengangkat satu kaki gadis itu hingga melingkar di atas pinggangnya, ciuman itu semakin panas saat Chaterin membalas setiap lumatan yang dia lakukan. Saling mengecap dan saling menumpahkan perasaan masing-masing.
Mereka terhanyut dengan posisi bersandar, tangan Damian mulai membuka satu persatu kancing baju hangat yang masih membalut tubuh Chaterin. Dia merasa tidak sabar untuk segera melesatkan tangannya untuk menyentuh buah dada Chaterin yang selama ini menghantui malam-malamnya.Tidak berapa lama kain yang terbuat dari bahan wol kualitas terbaik itu sudah berserakan di lantai, dengan cepat Damian meloloskan tangan yang sedari tadi mencengkram rambut Chaterin, menuju perut gadis itu, lalu perlahan naik menuju cup bra Damian meremasnya menggunakan sedikit tenaga.
Suara berdecak dari bibir mereka yang saling melumat menjadi satu-satunya suara di apartemen yang hening. Saat Damian berniat memasukan jarinya ke dalam payudara, Chaterin tersentak lalu dia mendorong tubuh Damian agar menjauh dari dirinya. Pria itu menatapnya dengan pandangan berkabut, sisa gairah masih terlihat nyata menguap di antara mereka. Napas keduanya tidak beraturan, Damian mengutuk dirinya karena merasa selangkangannya berubah nyeri.
Chaterin tampak sexy dengan rambut berantakan, bibir yang bengkak akibat ciuman, pipi yang putih telah berubah sewarna cerry dan Damian dapat melihat mata abu-abu gadis itu masih dipenuhi oleh kebutuhan biologisnya. Tapi entah kenapa Chaterin memutus kontak dan mendorongnya untuk menjauh.
"Ini tidak benar, tanganmu terluka dan perasaanmu masih kacau. Sebaiknya aku panggilkan Dokter untuk melihat keadaanmu," Chaterin meraih mantelnya yang tergeletak di lantai. Dia masih merasakan daerah kewanitannya berkedut. Ciuman tadi begitu panas dan liar, namun dia sadar Damian melakukannya tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya. Sementara dirinya, dia hanya terbawa suasana, karena bagaimanapun dia selalu berpikir bahwa Damian adalah lelaki yang hebat dalam hal apapun—termasuk dalam hal berciuman.
Saat Chaterin melangkah, Damian berkata dengan suara tajam penuh kemarahan. "Aku benci bajingan itu menciummu, aku tidak suka jika dia berani menyentuhmu lagi. Maka akan kupastikan tubuhnya terbaring di ICU."
'Oh Tuhan, aku rasa dia sudah gila.'
Perkataan Damian membuat Chaterin membeku, dia hampir menjatuhkan pakaian yang dibawanya. "Apa yang kau katakan?" Dia bertanya dengan gelisah, ucapan pria itu terdengar ambigu.
"Aku tidak suka jika bajingan itu atau siapapun menyentuhmu, dan aku juga tidak suka saat kau mengabaikan perkataanku!"
'Oh Tuhan.'
Chaterin berusaha untuk mengembalikan detak jantungnya, perkataan Damian sebelumnya telah membuat organ tersebut seolah berusaha untuk melompat keluar melalui mulut. "Tenangkan dirimu kita bicarakan ini nanti, aku akan menghubungi Dokter. Setelah itu kita bahas masalah ini bersama, dan aku memiliki banyak pertanyaan yang harus kau jawab."Gadis itu meninggalkan Damian yang berdiri frustasi dengan ereksi yang sudah sekeras baja.
Banyak pertanyaan yang memenuhi benak Chaterin, juga tentang pria yang menyelamatkannya di lorong tadi. Itu benar-benar membuatnya penasaran.Bagaimana pria itu bisa muncul di saat yang tepat, menyelamatkannya dari 4 lelaki berbadan besar. Disusul kedatangan Damian dengan wajah seperti mengeluarkan api, terlihat jelas pria itu menahan amarah tak ayal hal itu membuat hati Chaterin bergetar karena takut.
Meski di sisi lain dia tahu, Damian terlihat khawatir dan begitu mencemaskannya. Tidak perlu untuk bertanya langsung, Chaterin dapat merasakan itu semua semenjak Damian mendorongnya masuk ke dalam mobil hingga kejadian di dinding tadi. Itu sudah cukup untuk menjelaskan banyak hal dan kini itu semua menggantung dalam di dalam kepala.
Membuatnya kesulitan untuk menelaah dan mencari kebenaran secara jelas. Hati kecilnya memasang alarm waspada, jika sewaktu-waktu Damian melakukan hal yang sama seperti James—melewati pertahanan dirinya—hal ini lebih mengerikan, mengingat mereka baru saling mengenal hanya sekitar 48 jam yang lalu.
***
Pagiii update babang Damian sama neng Chaterin ya, semoga suka 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender To Destiny [Surrender Series #1]
ActionChaterin Elizabeth Kavanagh seorang gadis yang cantik, pintar dan juga banyak prestasi yang sudah dicapainya. Namun dia menutup diri dari sekitar semenjak kematian sang Ayah. Banyak pria yang berusaha untuk menarik perhatian dan mengajaknya berkenca...