Damian bangkit setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, dia melirik ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Chaterin terlihat kacau, meski gadis itu berusaha bersikap normal Damian tahu bahwa ada sisa tangisan di mata abu-abu milik Chaterin.
"Aku ingin menjenguk Spencer, apa kau ingin mengantarku? Maksudku apakah kau ingin ikut?" Chaterin meremas buku jarinya hingga berubah pucat, dia merasa tatapan Damian semakin intens, alih-alih untuk menenangkan diri pria itu semakin membuatnya merasa kacau. Pernyataan beberapa waktu lalu tentang alasan James berkencan dengannya itu membuat kepala Chaterin berdenyut.
Dia tidak menyangka akan ada hal mengerikan lain yang harus dia ketahui dalam kurun waktu tiga hari terakhir. Semua itu seperti pukulan keras baginya, menempatkan dia pada situasi yang sulit. Hati Chaterin merasa sakit dan berdarah. Kenyataan yang selama ini tidak dia ketahui bermunculan dengan cepat. Memaksa dia harus menguatkan diri atau menyerah pada kenyataan. Menangis adalah salah satu pelampiasan yang dia pilih, setidaknya itu jauh lebih baik daripada dia harus melukai urat nadinya. Dia hanya manusia biasa yang memiliki perasaan, meski dulu dia sempat menutup diri selama bertahun-tahun sejak kematian ayahnya.
Tapi saat itu dia masih bisa merasakan kasih sayang yang Delilah berikan. Kini masalahnya berubah rumit dan jauh lebih mengerikan, Delilah berhubungan dengan James, saat lelaki itu masih menjadi kekasihnya. Dan kenyataan lain meluncur dari mulut Damian seperti papan luncur salju di atas lintasan. Damian berjalan turun dari ranjang, dia masih menggelengkan kepala dengan tatapan nyalang. Meraih tubuh Chaterin agar mendekat dan membungkus pinggang gadis itu dengan tangannya.
"Demi Tuhan aku tidak ingin kau menangisi lelaki bajingan itu, kau telah membuang air matamu yang sangat berharga. Meski kau mencoba untuk terlihat tegar, tapi aku tahu saat kau membasahi telapak tanganmu dengan air mata," Damian membawa tubuh Chaterin ke atas ranjang. Chaterin hanya diam, tidak ingin mengeluarkan bantahan ataupun pernyataan menyesal. Untuk saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang terasa samar.
Masih banya hal yang tidak dia ketahui, sementara Damian seolah mengetahui semuanya."Kita harus menjenguk Spencer!" Dia bersikeras untuk pergi.
"Oh sialan kau Chate, ini hampir pukul 1 dini hari, rumah sakit mana yang akan mengijinkan tamu luar untuk menganggu istirahat pasiennya?" Damian membentak, membuat tubuh Chaterin membeku untuk sesaat. Dia melupakan fakta bahwa hari sudah merangkak pagi, dan perkataan Damian semuanya terdengar benar.
Tidak ada alasan baginya untuk tetap pergi, Chaterin menjatuhkan tubuh di atas kasur. Dia menatap Damian dalam diam, matanya mencari sesuatu. Seperti sebuah pencerahan atau penjelasan tentang semua hal yang tidak diketahuinya.
"Siapa orang yang berusaha menculikku? Apa orang itu ada hubungannya dengan James?"
'Sial! Dia memang pintar, bahkan aku belum sempat menyinggung hal ini hingga ke arah sana.'
Damian menggeram rendah dengan tatapan gusar, tidak menyangka gadis di depannya akan berpikir jauh dan menebak hal yang terjadi dengan sangat tepat."Baiklah aku rasa kau memang sudah waktunya untuk tahu. Dan ya, James sedikit banyak dia terlibat. Pria itu menjalin kerjasama dengan pengusaha matang bernama Mr. Byrne, laki-laki itu adalah rekan Mr. Kavanagh yang notabene adalah ayahmu. Dulu semasa hidup ayahmu telah menciptakan sebuah alat untuk menciptakan pil penghilang rasa sakit dan meningkatkan kekebalan metabolisme tubuh." Damian menarik napas, untuk sesaat mengamati wajah Chaterin dengan baik. Setelah memastikan gadis itu mendengarkannya tanpa menunjukan perubahan wajah secara signifikan, Damian kembali lanjut bercerita.
"Namun setelah pil itu berhasil dibuat dan dilakukan uji coba. Relawan yang sedang mengalami sakit parah dia rela menjadi kelinci percobaan, namun hasil akhir tidak sesuai harapan. Obat tersebut beralih fungsi, relawan tersebut memang tidak merasakan lagi rasa sakit ditubuhnya. Tapi dia berubah menjadi seperti pecandu dan pil tersebut memberi efek yang mengerikan, efek samping yang terjadi adalah pasien tersebut kehilangan nyawa dalam kurun waktu 12 jam. Ayahmu berniat untuk menghancurkan alat tersebut, namun hari berikutnya saat dia pulang, kecelakaan telah merenggut nyawanya sebelum dia berhasil memusnahkan mesin pembunuh ciptaannya."
"Oh Tuhan," Chaterin berkata dengan tangan menutup mulut, kenyataan ini terlalu baru untuk dia tanggapi. Dulu saat ayahnya meninggal dia hanyalah gadis kecil yang baru berusia 10 tahun, "Apa penjahat itu mengincar diriku karena ada hubungannya dengan alat tersebut?" Chaterin berusaha untuk kembali tenang, meski hatinya masih terlalu terkejut.
"Ya, Mr. Byrne berubah tamak, dia berusaha untuk mengambil alih alat tersebut dan ingin menciptakan lebih banyak obat untuk dijual. Tapi misinya terhalang saat dia tidak bisa mengakses kode keamanan yang dipasang ayahmu. Dia telah memasang akses keamanan yang canggih, dia menggunakan sidik jarinya sendiri, dirimu, Delilah, dan seseorang yang ingin membuka pintu baja itu harus menggunakan scan mata kalian berdua."
Chaterin melongo dengan mulut terbuka, tidak menyangka jika dirinya dan Delilah menjadi kode akses untuk mendapatkan alat tersebut, "Jika aku menjadi sasaran berarti Ibuku juga dalam masalah.
Oh Tuhan bagaimana ini? Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Ibuku?" Chaterin berubah gusar, dia berdiri dan mengitari seluruh penjuru kamar.
Otaknya seperti disiram seember es hingga dia merasa seperti sedang menderita hipotermia."Duduklah jika kau ingin aku menceritakan semuanya hingga selesai!" Damian meminta Chaterin untuk tenang, dia tidak bisa bercerita jika gadis itu bertingkah seperti cacing kepanasan.
Dengan setengah hati Chaterin menurut, dia kembali duduk dengan tangan yang terus memutar ujung kamisol yang dipakainya. Dia merasa khawatir, terkejut dan berbagai perasaan lain yang sulit untuk dia deskripsikan seperti apa."Ibumu memang pernah menjadi sasaran, namun kini sudah tidak lagi," perkataan Damian terdengar lemah dan terdapat sedikit kesedihan di dalamnya.
"Bagaimana bisa? Tidak mungkin mereka hanya mengincarku jika kode akses itu dapat dibuka hanya dengan kami berdua," Chaterin mengguncang bahu Damian agar pria itu menjawab pertanyaannya.
"Mereka telah mendapatkan Ibumu...." Bahu Damian terkulai, dia tidak mampu lagi untuk menyembunyikan kenyataan lebih lama. Mungkin ini saatnya Chaterin untuk tahu, dia takut gadis itu akan mengalami gagal jantung jika mendengar semua cerita lengkapnya.
"Apa maksudmu?" Chaterin berpikir sejenak saat tidak mendapat jawaban dari mulut Damian, detik berikutnya dia melotot saat sebuah pemikiran melintas dan membuatnya hancur berkeping-keping.
****
Terima kasih buat yang sudah baca, vote, komen, serta masukin cerita ini ke reading list dan udah follow akun saya ataupun buat yang mau follow thank you 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender To Destiny [Surrender Series #1]
ActionChaterin Elizabeth Kavanagh seorang gadis yang cantik, pintar dan juga banyak prestasi yang sudah dicapainya. Namun dia menutup diri dari sekitar semenjak kematian sang Ayah. Banyak pria yang berusaha untuk menarik perhatian dan mengajaknya berkenca...