Bab 9

3.9K 271 6
                                    

Chaterin melompat turun dan membawa sebagian barang belanjaan, meski Damian telah melarangnya dengan alasan pria itu mampu membawanya sendiri. Tapi Chaterin bersikeras, dia tidak ingin menjadi lemah dan manja. Chaterin bukan tidak percaya pada tenaga yang Damian miliki, hanya saja dia terbiasa hidup mandiri sejak masih kecil.

Melewati pintu dan menutupnya dengan kaki, Chaterin lupa bahwa ada Damian yang berjalan di belakangnya. Beruntung Damian mundur saat daun pintu hampir mengenai wajahnya. "Uwoo... aku tahu terkadang kau ceroboh, tapi tendangan kakimu hampir membuat wajah tampanku lebam," Damian meletakan karton belanjaan di atas meja.

"Oh Tuhan maafkan aku, tadi aku lupa bahwa aku pulang bersamamu," jawab Chaterin santai. Lantas dia berlalu melewati bahu Damian yang menatapnya dengan pandangan menelisik. "Apa kau sengaja ingin membuat wajahku hancur?" Damian mendekati Chaterin yang tengah mencari tepung untuk adonan kue.

"Tidak, maksudku untuk alasan apa aku ingin menghancurkan wajahmu," Chaterin berjongkok untuk mengambil mixer dari laci di bawah meja. Damian hanya berdiri tanpa berniat menjauh.
"Bagus kalau begitu, aku takut kau marah dan melarikan diri karena lelucon omong kosongku tadi," perkataan Damian membuat Chaterin berhenti mencari barang yang diperlukannya.
Perlahan kepalanya mendongak, bermaksud untuk melihat kesungguhan dalam ucapan Damian. Namun yang terjadi mereka berdua terjebak dalam keadaan yang terasa awkward.

Wajah Chaterin tepat berada di depan resleting Damian yang terlihat menonjol. Keduanya bertukar pandangan, pikiran keduanya terprogram dengan baik dan memiliki pemikiran yang sama tentang hal tersebut. Terlihat jelas Damian menelan ludah dan menarik napas berat, sementara Chaterin hanya diam dengan pikiran erotis yang menari mengelilingi dan membawa akal sehatnya menjauh, dia membayangkan dapat merasakan milik Damian yang besar dan keras. Memberi pria itu kenikmatan, dengan semua kemahiran yang bisa dilakukan Chaterin, membuat Damian menjerit dan menyebutkan namanya saat dia datang.

Mereka melompat menjauh saat telefon di ruang tamu berdering, dengan malas Damian melangkah. Sesampainya di pintu dia berbalik untuk menatap Chaterin yang tengah mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Aku rasa tadi itu adalah posisi yang sangat bagus," Damian mengedipkan sebelah mata. Sebelum akhirnya dia menghilang di belakang pintu.

Chaterin menyentuh dada dan berusaha menormalkan detak jantungnya. Dia berusaha keras untuk mendapatkan kembali kewarasan yang tadi menghilang entah kemana, Chaterin mendekati bahan untuk membuat kue yang telah dia pilih sendiri, mempersiapkan beberapa cetakan untuk membuat adonan. Untuk sementara dia menyimpan apel dan lemon di lemari pendingin.

Langkah kaki Damian terdengar mendekat, Chaterin masih berusaha untuk menyibukkan diri. Tidak berniat untuk melirik ke arah Damian yang berdiri di dekat pintu, hingga akhirnya Damian lah yang membuka suara terlebih dulu.

"Lady, anggap saja kau akan membantu tugasku. Aku tahu permintaanku pasti akan membuatmu sakit, tapi setidaknya ini adalah jalan terbaik saat aku harus pergi meninggalkanmu."

Chaterin berbalik, membiarkan semua adonan tergeletak begitu saja. "Apa yang terjadi? Mengapa kau tiba-tiba memutuskan untuk pergi?" Belum sempat Chaterin mendapat jawaban atas pertanyaannya Damian sudah terlebih dulu menariknya menjauh dari dapur.

"Oke, ini bukan saatnya untuk melakukan omong kosong. Aku harus pergi membantu Spencer dan juga yang lain, selama aku pergi tinggalkan apartemen sialan ini dan pergilah temui Delilah. Jika kau berada bersama mereka kau akan sangat membantuku," Damian tetap menarik Chaterin hingga mereka tiba di depan lift.

"Apa kau gila? Kau memintaku untuk mati perlahan, tidak! Aku tidak akan sanggup jika harus melihat mereka bermesraan di depan mataku."

Pintu lift terbuka, Damian masuk dan menatap Chaterin dengan pandangan marah. Tidak pernah sebelumnya Chaterin melihat kemarahan seperti itu dalam diri Damian, dengan enggan Chaterin melangkah masuk ke dalam lift. Untuk sesaat mereka larut dalam kebisuan, terlebih tidak ada orang di dalam sana selain mereka berdua.

"Aku tahu ini akan menyakitimu, tapi kau tidak aman jika berada seorang diri tanpa ada orang lain di sampingmu. Seseorang di luar sana tengah berusaha untuk mendapatkanmu dan aku tidak ingin lengah dan menempatkanmu dalam bahaya," Damian mengerang saat Chaterin menatapnya dengan pandangan membunuh.

"Jangan tunjukan tatapan seperti itu!" Damian menarik Chaterin untuk mendekat.

"Lepaskan aku bajingan! Kau tidak berhak mengatur hidupku, apa kau tahu rasanya melihat James dan Ibuku bersama-sama itu menyakitkan?! Aku lebih baik mati daripada harus menyaksikan percintaan mereka."

Detik berikutnya tubuh Chaterin menegang, dia tidak menyangka Damian benar-benar membungkam mulutnya dengan bibir selembut sutra, sendi-sendi yang Chaterin miliki seolah terlepas dari tempatnya, ciuman Damian terasa memaksa dan penuh rasa frustasi dan kemarahan. Dia begitu posesif bahkan saat berciuman.

"Jangan pernah berkata kau ingin mati! Karena aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakitimu. Termasuk dirimu sendiri," Meski ciuman mereka telah berakhir tapi Chaterin masih merasakan sisa getaran yang merayapi tubuhnya. Perkataan Damian membuatnya semakin terperangah. Tapi dihati kecilnya, dia tidak ingin besar kepala dan beranggapan bahwa lelaki itu perduli padanya.

Saat pintu lift terbuka Damian meminta Chaterin untuk berjalan di sampingnya, mereka berjalan menuju parkiran dan segera melesat menuju apartemen James yang memakan waktu sekitar 15 menit perjalanan menggunakan mobil. "Jangan mencoba untuk melarikan diri, tetaplah bersama mereka agar keselamatanmu tetap terjamin," Damian berkata disela mengemudikan mobil dalam kecepatan tinggi, dia tidak memiliki banyak waktu untuk segera sampai di lokasi di mana Spencer dan Neil berada.

Damian mencari tempat parkir yang paling nyaman untuk memutar arah, meringsek maju naik menuju apartemen James atas petunjuk Chaterin. Dengan tidak sabar dia terus mengetuk pintu hingga tangannya terasa sakit, "Apa yang kau lakukan di sini? Kau hampir merusak pintuku Bung!" James muncul dan mengumpat. Dia hanya mengenakan celana kerja warna hitam dan bertelanjang dada. Rambutnya sangat berantakan seperti habis terkena angin topan yang besar.

James masih belum menyadari keberadaan Chaterin yang berdiri di belakang tamu tidak diundangnya. Tubuh Damian yang tinggi membuat Chaterin terhalang dengan baik.

"Aku kemari karena ingin menitipkan Chaterin pada Delilah. Karena dia bersamamu jadi aku mengantarnya kemari, jika saat aku kembali melihat kulitnya tergores sedikit saja maka kau dan perusahaanmu akan kupastikan berada dalam masalah!"

Damian menarik Chaterin untuk berdiri di hadapannya, gadis itu hanya menatap pria tersebut dengan pandangan kesal, tapi dia tidak mampu berbuat apapun untuk membalas sikap Damian yang semena-mena. Saat mereka bertiga saling berhadapan Delilah muncul dalam balutan handuk dan bau sabun mandi yang masih segar. "Siapa itu James?"

"Oh astaga, sayang apa kau berencana menemuiku?" Delilah memeluk Chaterin dan mempersilahkannya untuk masuk.

"Jaga putrimu dengan baik, aku rasa kau tahu alasannya kenapa," Damian berkata tegas dengan peringatan tersirat, setelah memastikan Chaterin masuk Damian berbalik dan berlari menuju lift.

***

Sepanjang perjalanan Damian menghubungi anak buahnya yang lain, dia tidak memiliki banyak tenaga tambahan. Mengingat banyak perusahaan besar yang terus meminta jasa keamanan dari perusahaan yang dikelolanya. Damian melaju dalam kecepat tinggi, pemikiran tentang Spencer dan Neil terus menganggu.

Setelah Damian sampai di gudang penyimpanan barang milik Spencer, dia melihat kepulan asap di beberapa bagian. Beberapa menit berselang dua mobil lain parkir di samping Rover miliknya. Anak buah Damian melompat turun dan besiap pada posisi masing-masing, mereka harus mengepung tempat tersebut dan menangkan penyusup dalam keadaan hidup.

Damian mendapat laporan dari Neil bahwa tempat itu diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Spencer dan beberapa anak buahnya yang lain terjebak di dalam sana, mereka terlibat baku hantam dan penembakan. Sulit mengidentifikasi musuh jika berada dalam jarah 10 meter.

Di dalam gudang tersebut penerangan begitu minim, ditambah ada beberapa barang yang sengaja dibakar hingga menyulitkan jarak pandang, yang lebih parah barang milik klien ikut menjadi taruhan. Setelah semua posisi siap Damian meringsek maju bersama dua orang anak buahnya yang lain, melewati pintu samping yang biasa digunakan para karyawan untuk beristirahat.

Saat bunyi letusan terdengar di arah utara, Damian menyisir tepian gudang dengan sangat hati-hati, dia harus melihat hal apa yang terjadi di dalam sana. Damian tidak dapat mengetahui apapun mengingat komunikasinya bersama Neil terputus, sinyal di dalam gudang berhasil diputus oleh seseorang sesaat sebelum Neil menyelesaikan perkataannya.

Surrender To Destiny [Surrender Series #1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang