BAB 19

3.9K 273 0
                                    

"Duduklah, tenangkan dirimu. Kau harus tenang jika ingin masalahnya selesai. Lalu bagaimana ceritanya hingga Delilah bisa berakhir di rumah sakit ini?" Spencer bertanya dengan rasa ingin tahu yang luar biasa. Dia benci hanya terkurung di dalam ruangan berbau obat, sementara di luar sana sesuatu yang besar telah terjadi. Terlebih dia mengkhawatirkan keadaan Chaterin, Spencer yakin gadis itu pasti sangat terguncang. Hal itu akan sulit mereka hadapi jika Chaterin memilih untuk menjauh dan pergi.

"Tadi si brengsek James menelefonku, dia yang mengabarkan bahwa Delilah dilarikan ke ICU dan kondisinya sempat kritis," Damian kembali mendaratkan tubuhnya di tempat semula. "Oh Tuhan bagaimana ini? Aku sudah menyatakan perasaanku padanya. Aku tidak perduli tentang apapun yang akan dia katakan, aku hanya ingin dia selamat dan tetap berada dalam pengawasanku."

Untuk beberapa saat Spencer hanya diam, pria itu sedang menimbang perkataan mana yang layak untuk diucapkan pada Damian. "Hmm... Sebenarnya aku mengerti apa yang kau khawatirkan. Aku juga memikirkan hal yang sama, kita semua mengetahui bahaya yang mengintai dan apa saja yang terjadi.
Tapi jika Chaterin benar-benar merasa diabaikan, aku rasa akan sedikit sulit untuk menanganinya.

Mengingat sikapnya yang keras kepala, dan  itu kadang membuat kepalaku terasa mau pecah."
Damian mengangguk setuju, dia juga berpikiran ke arah sana. Rasa khawatir terbesarnya adalah... bagaimana jika Chaterin marah karena hanya dia satu-satunya orang yang tidak mengetahui apapun. Bahkan Damian merasa takut gadis itu akan menjauhinya, jika dia tahu bahwa dirinya memang diminta secara khusus oleh Delilah.

Saat Spencer berniat untuk mengatur rencana, pintu kamar tempatnya dirawat terbuka. Mereka berdua saling menatap dengan pandangan waspada, Spencer menyusupkan tangan ke bawah bantal. Dia bermaksud untuk mengambil pistol yang selalu disimpan di bawah sana. Damian bangkit untuk melihat apa yang terjadi, tangannya yang sudah memegang pistol, siap menarik pelatuk jika sewaktu-waktu ada hal yang membahayakan nyawa mereka.

Namun selanjutnya tubuh Damian membeku saat mendapati Chaterin berdiri dengan pandangan nyalang. Tercetak jelas kemarahan bercampur lelah dan frustasi di wajah cantiknya, gadis itu melangkah maju tanpa berniat untuk melirik ke arah Damian, melewati bahu pria itu dan memeluk Spencer dengan hangat.

Sial! Damian tahu gadis itu pasti telah mendengar semuanya.

"Spence, aku senang melihatmu baik-baik saja. Aku merindukanmu, tapi keadaanmu seperti ini. Apa kau tidak berniat memberitahuku sesuatu?" Chaterin menatap Spencer dengan tatapan membunuh, meski tidak seperti seorang kapten. Spencer merasa tatapan gadis di depannya jauh lebih mengerikan. Bagaimana jika Chaterin berhenti membuatkan makanan untuknya? Pasti dia akan kehilangan makanan terenak di dunia, lengkap beserta koki tercantik yang pernah dilihatnya.

"Begini, kau pasti tahu aku seperti apa. Aku tidak akan membuka rahasia seseorang tanpa ijin dari orang tersebut. Dan apapun yang terjadi antara kau, Damian, James atau Ibumu aku harap kau tetap akan membuat masakan enak untukku setiap akhir pekan."

Setelah mendengar jawaban Spencer, dengan sangat terpaksa Chaterin tersenyum. Sekuat apapun dia untuk terlihat marah, perkataan Spencer sudah cukup untuk membuat perasaannya kembali tenang.
"Aku bersumpah akan memukul pantatmu dengan mixer jika kau sudah kembali ke rumah," wajah Chaterin merona, dia menyesal karena menyebut kata mixer, seketika kejadian di dapur menyelinap ke dalam kepalanya.

Sementara Damian yang berdiri di depan pintu dia mengerang, mixer dan dapur Specer membuatnya kesulitan untuk mengendalikan diri. Hal itu lebih mengerikan daripada harus menjalani sederet pelatihan militer.

"Tangkap aku jika kau ingin memukul pantatku," Spencer menyeringai, dia meminta Chaterin untuk duduk di dekatnya."Apapun yang kau rasakan jangan terlalu keras padanya, dia hanya ingin melindungimu. Jika kau bersedia untuk tidak melarikan diri, maka kau boleh menanyakan apapun padaku. Aku mengenal dia dan aku tahu kapan saatnya dia benar-benar serius." Chaterin begidik saat Spencer membisikan kata-kata seperti itu, dia mendongak dan menatap kakak angkatnya dengan wajah ditekuk.

"Jangan tunjukan wajah seperti itu pada orang sakit. Kau bisa membuat jahitanku yang hampir kering kembali rusak," goda Spencer. Selanjutnya Chaterin mendekat, mensejajarkan wajah. Hingga yang terlihat oleh Damian adalah Chaterin sedang mencium bibir sahabatnya tersebut. "Shit! Kate kau membuatku berada dalam masalah," geram Spencer saat dia mendengar Damian membanting pintu dengan keras. Melihat ke belakang melalui bahunya, Chaterin menunjukkan senyum kemenangan.

"Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang begitu saja, kau ikut andil dalam menutupi semuanya. Apa kau tahu sebelumnya kalau Delilah dan James menjalin hubungan di belakangku?" Chaterin menarik salah satu bulu kaki Spencer yang terlihat lebat. Hal tersebut menyebabkan pria itu meringis menahan sakit.

"Sial. Itu rasanya sakit sekali!" Spencer mengusap tempat yang terasa nyeri, "Aku berkata jujur, aku tidak memgetahui hubungan Ibumu sampai kau sendiri yang bercerita padaku," Spencer menarik dan melipat kaki untuk disembunyikan di bawah tubuhnya.

"Jangan membohongiku Spence, kenyataan yang bertubi-tubi menghantamku itu terlalu serius, membuatku membutuhkan pasokan udara lebih. Aku tidak bisa diam saja seperti orang tolol sementara kalian semua mengetahui dengan jelas duduk permasalahannya."

Chaterin merasa ledakan emosi semakin menghantamnya dengan keras, mendorongnya menuju tepian. Hingga akhirnya benteng yang selama berjam-jam dia bangun runtuh dalam sekali sentak. Air mata telah berhasil menerobos pertahanannya tanpa ampun, Chaterin menangis dan menanggalkan rasa malu yang masih tertinggal.

"Jangan menangis baby girl! Tidak ada satupun dari aku, Ibumu ataupun Damian yang bermaksud untuk membuatmu terlihat idiot, semuanya berjalan tanpa direncanakan. Yang jelas Damian tidak pernah meminta bayaran sepeserpun pada Ibumu. Pria itu menjagamu atas keinginannya, selama ini dia tidak pernah turun tangan sendiri saat menangani masalah klien, tapi dirimu baginya berbeda, kau sangat spesial hingga dia rela mengalihkan beberapa tugas penting kepada Neil," Spencer menunjukan tatapan serius, dia menginginkan Chaterin untuk mempercayai ucapannya.

"Aku tidak tahu, pikiranku terlalu kacau untuk mencerna semua kenyataan. Penjahat yang ternyata dulunya rekan kerja Dad, itu sudah cukup untuk membuat kepalaku berdenyut, pernyataan cinta Damian yang membuatku hampir terkena Stroke, ditambah Ibuku didiagnosa mengidap Manic Depresif. Oh Tuhan otakku bukan mesin yang tidak kenal lelah. Semua masalah ini seperti melumpuhkan semua saraf dalam diriku."

Chaterin mengusap air mata dengan punggung tangannya, saat dia mencari tisu untuk membersihkan hidungnya yang mulai berair. Akhirnya dia meraih ujung seragam rumah sakit yang dipakai Spencer karena tidak melihat kotak tisu di dekat sana."Sialan kau Kate! Oh Tuhan. Apa kau masih menyimpan dendam padaku setelah sepuluh tahun berpisah?" Spencer berusaha untuk membuka baju dan menjauhkan kain itu dari tubuhnya. Dia meringis sambil menekan tombol untuk memanggil perawat, namun matanya tidak lepas dari Chaterin yang menatapnya dengan pandangan kesal.

"Diam atau aku akan kembali mencabut semua bulu yang ada di tubuhmu satu persatu," ancam Chaterin. Belum sempat dia menyiksa Spencer, seorang perawat sudah masuk dan bertanya hal apa yang mereka butuhkan.

"Tolong bawakan aku baju ganti, Miss," jawab Spencer sambil mengedipkan mata. Hal tersebut membuat wanita berseragam putih itu menjadi salah tingkah. Setelah perawat itu pergi, Chaterin memutar mata dan berdiri dari tempat duduknya. "Mau kemana Baby Girl? Jangan pergi kemanapun tanpa pengawalan!"

"Aku benci diikuti, aku ingin sendiri. Oh Tuhan aku harus masuk kerja," Chaterin mengerang saat dia melirik jam yang tergantung di dinding menunjukan hampir pukul 5 pagi.

"Jika lelah, kau boleh istirahat untuk beberapa hari. Aku tidak ingin kau sakit. Kau juga harus menjaga Ibumu," Spencer tidak ingin melihat gadis itu tumbang. Kesehatannya lebih penting daripada setumpuk pekerjaan sialan yang selalu menyita waktu.

"Aku baik-baik saja jika pergi bekerja, tapi jika aku di rumah atau tinggal di Rumah Sakit itu hanya akan memperburuk perasaanku, Ibuku akan dijaga oleh kekasihnya jadi kau tidak usah khawatir," Chaterin mencium pipi Spencer. "Aku pergi, jaga dirimu Spence. Jika ada masalah di kantor aku akan segera memberitahumu," Selanjutnya dia berjalan melewati pintu dan tersenyum pada Spencer saat menutupnya.

🦋🦋🦋

Selama minggu sore hehe. Oh iya buat yang mau baca full story-nya udah ada di playstore juga kok, bisa beli ebooknya download pakai pulsa biasa. Atau kalau mau order satu set series ini beli 1 set lengkap (isi 3 buku) harganya lebih hemat juga 😊

Surrender To Destiny [Surrender Series #1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang