BAB 20

4.1K 258 5
                                    

Chaterin keluar dengan wajah sedikit suram, meski berbincang dengan Spencer dapat mengobati sedikit luka hatinya, tetap saja hal itu tidak menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan. Semuanya menjadi abu-abu, bahkan dia tidak dapat melihat bayangan Damian dengan jelas.

Pria itu terasa dekat namun sulit untuk diraih, kenyataan bahwa Damian menyembunyikan banyak hal darinya, itu sudah cukup untuk membuat pikiran Chaterin menjadi lebih kacau dari sebelumnya. Bahkan dia nyaris membeci Damian dengan sepenuh hati, andai Spencer tidak memberi alarm pengingat jika Damian melakukan itu semua demi kebaikannya.

Hal itu masih sulit untuk Chaterin terima, dia butuh ruang untuk sendiri. Menjauh dari bayang-bayang pria yang selalu membuat pikirannya kacau. Bahkan hanya dengan melihat celana lusuh menggantung di pinggang Damian saja, Chaterin bisa merasakan darahnya mendidih.

"Oh Tuhan, aku benar-benar berdosa," Chaterin melarikan telapak tangan untuk menutup wajahnya. Sengatan perasaan untuk Damian begitu nyata, seperti gairah yang meluap-luap dan sulit untuk disingkirkan. Hal itu selalu membuat Chaterin lupa diri setiap kali harus berhadapan dan mencium aroma rempah-rempah dan kayu-kayuan yang menjadi ciri khas bau Damian.

Alih-alih menenangkan diri, Chaterin merasa benci karena bayangan celana Damian terus melintas di atas kepalanya. Saat mencari mixer adalah hal yang sulit untuk dikubur begitu saja, Chaterin merasa gila karena terus tertarik pada celana seorang laki-laki. Ah, tapi dia terlalu malu untuk mengakui bahwa rasa penasaran untuk melihat sesuatu yang menonjol itu telah menguasai pikirannya.

Chaterin mengumpat dalam hati, dia mengangkat tubuhnya yang dari tadi bersandar di tembok. Selanjutnya dia berjalan tanpa melihat ke arah depan, dia terkesiap saat dada seseorang yang terasa keras membentur tubuhnya.

Dia mengerjap saat mendapati Damian menatapnya dengan pandangan kacau, sulit untuk mendeskripsikan tatapan seperti apa yang tengah pria itu tujukan. Kesedihan dan rasa takut terlihat mendominasi. Perlahan dia mendekat, mencoba untuk menahan tubuh Chaterin saat gadis itu bersikeras untuk pergi.

"Kate, ikutlah denganku dan kita akan membicarakannya," Damian masih menghalangi jalan yang akan Chaterin lewati. Tidak sedikitpun dia memberi celah, hatinya terlalu takut jika gadis itu akan pergi meninggalkannya.

"Aku tidak mau pergi denganmu! Jadi sekarang menyingkirlah!" Chaterin mendorong Damian dengan gusar, tatapan terluka di mata biru safir itu ikut menyakiti hatinya. Namun dia tidak ingin kembali, masalah yang terjadi membuatnya terlihat bodoh, dan dia benci saat semua orang mengetahui segalanya. Sementara dia hanya menjadi boneka yang tidak bisa mengetahui apapun.

"Tidak Kate, aku mohon! Aku harus meluruskan semuanya. Aku tidak ingin isi kepalamu dikacaukan oleh hal yang tidak berguna," penuturan Damian membuat darahnya memompa lebih cepat, dia berhenti dan berbalik untuk menatap laki-laki yang selalu membuatnya tidak bisa fokus itu.

"Aku tidak peduli dengan apapun, saat ini aku hanya ingin sendiri. Aku butuh waktu dan ruang untuk menenangkan pikiranku yang kacau. Semua kenyataan yang terjadi bersama kebohongan membuat hatiku terasa lebih sakit. Aku tidak bisa berpura-pura sementara kenyataannya aku masih marah padamu," dia berjalan menjauh.

Dia mendengar suara retakan pada dinding di belakangnya, ingin rasanya dia berlari dan melihat apakah tangan pria itu baik-baik saja. Namun semua niat itu dia abaikan, Chaterin tidak ingin menjadi lemah dan melupakan semua kebohongan besar yang mereka rencanakan dalam hidupnya.

Berjalan menuju lift, dia tidak berniat untuk menoleh atau sebagainya. Jika dia berbalik dan menatap Damian, rasanya akan semakin sakit. Laki-laki itu telah mengenalnya sejak tiga bulan yang lalu—itu menurut pengakuannya. Dan dia tidak tahu kenyataan lain yang mungkin saja masih disembunyikan pria itu darinya.

Bahkan Delilah ibunya sendiri menyembunyikan ini semua, Chaterin merasa sangat tidak berguna karena telah membiarkan wanita itu menahan sakit sendirian. Meski James dan Delilah melakukan pengkhianatan, Chaterin tidak pernah benar-benar membenci mereka. Baginya kebahagiaan wanita itu adalah segalanya, dia sudah berusaha memafkan mereka saat menyaksikan Delilah meminta maaf. Itu sudah cukup baginya untuk mengetahui bahwa James memiliki arti lebih, dia tidak ingin menjadi egois dan berusaha untuk memisahkan mereka.
Terlebih dirinya bukan tipe wanita seperti itu, rasa pahit akan dia telan jika memang itu adalah kenyataan yang harus dia hadapi.

Surrender To Destiny [Surrender Series #1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang