Penopang

624 135 6
                                    

       Seseorang merenung di tengah malam sembari mengelus kaki kirinya. Ada rasa sakit yang tak bisa ia perlihatkan pada semua orang, Terlebih dia tinggal dengan orang orang yang hidupnya pun tak begitu bahagia.

       Bulir air mata perlahan mengalir di pipinya. Matanya menatap kedua kakinya yang berbeda. Salah satu diantara mereka tergantikan oleh kaki buatan manusia. Masih terlintas di kepalanya bagaimana rasa sakit yang ia rasa manakala sebuah truk pengangkut barang melindas kakinya pada kecelakaan hari itu.

       Kalau saja saat itu dirinya tidak pergi untuk menemui seseorang, Pasti tak akan ada tangis histerisnya melihat dokter mengambil satu kakinya. Padahal hari itu, Ada perlombaan yang harus ia hadiri. Sementara ia akhirnya harus merelakan satu kaki untuk perempuan yang meninggalkannya demi seseorang yang sering berada satu kolam renang dengan dia, Teman dekatnya.

       Theo menggigit bibir bawahnya kuat kuat, Tangannya mengepal, Ia kecewa pada takdir. Saat semua penghuni kost tengah menyelami mimpinya masing masing, Theo kerap kali menangisi mimpinya sendiri yang telah pupus.

       Tanpa Theo sadari, Ada seseorang yang sedari tadi membuka matanya, Diam diam memperhatikan Theo. Orang itu adalah Gibran. Merasa kasihan dengan Theo, Gibran akhirnya memilih bangun dan menghampiri laki laki yang nampaknya terkejut itu.

      "Mau ikut gue duduk di ruang tengah ngga Kak? Kebetulan gue juga ngga bisa tidur." Ucap Gibran setengah berbisik. Theo mengangguk dan bangun dari tempat tidurnya. Kali ini bukan tongkat namun Gibran yang menopangnya, Membantu ia berjalan perlahan lahan.

       "Lo pasti kebangun karena gue ya? Sorry." Gibran menggeleng.
       "Lo salah. Gue emang sering bangun tengah malem, Gue juga sering liat lo nangis kaya tadi."

       Mereka berdua duduk di sofa, Untuk beberapa saat keduanya terdiam, Sampai akhirnya Gibran angkat bicara.

       "Kak Theo sadar ngga? Kita dipertemukan di kost ini dengan kondisi yang rata rata butuh penyembuhan. Beberapa orang kaya Bryan, Julio atau Satria mungkin ngga, Tapi sisanya iya. Gue ngekost disini karena gue bener bener ngga bisa bertahan dirumah Kak. Orang tua gue ngga pernah akur, Mereka selalu berantem bahkan untuk hal yang sepele dan ngga pantes diributin. Mungkin mereka ngga sadar tapi itu bener bener ngaruh ke psikis gue. Sampe akhirnya gue nemu brosur kost ini dan iseng masuk kesini. Tadinya cuma ada Satria, Bang Kenan sama Julio. Mereka baik banget, Seiring bertambahnya penghuni, Gue mulai ngerasa kehidupan gue makin membaik."

         Theo mengangguk, Yang dikatakan Gibran memang benar. Mereka datang dengan latar belakang yang berbeda beda. Panji dan rasa malunya pada Joe, Gibran dan bipolarnya yang awal awal sulit terkontrol, kenan dan kisah cintanya yang berakhir tragis, Kenzo yang melarikan diri dari ayahnya, Narendra dan dunianya yang sunyi, Serta dirinya yang butuh penopang.

       "Gib, Gue pernah bilang ke temen gue tentang keinginan gue buat jadi atlet renang setelah gue kehilangan satu kaki, Dan mereka jawab gue adalah orang yang ngga tau diri."
        "No, Temen temen lo konyol. Banyak atlet renang disabilitas yang sukses diluaran sana. Bahkan sekalipun lo ngga bisa jadi perenang handal, Lo bukan orang yang ngga tau diri kak. Lo orang hebat dengan segudang bakat. Jangan dilihat dari sisi buruknya aja, Bayangin satu kaki lo ngga diamputasi, Mungkin lo ngga kepikiran buat ngekost disini, Atau lo ngga akan diselamatkan dari perempuan dan temen yang sebenernya toxic."

       Apa yang lebih baik daripada memiliki orang orang baik disekitar kita? Theo merasa amat bersyukur dipertemukan orang orang baik seperti mereka yang mungkin siap menopang badannya jika ia kehilangan kedua kaki sekalipun.

       "Udah yuk Gib, Istirahat." Ucap Theo mengakhiri obrolan mereka. Gibran mengangguk dan memapah Theo menuju kamar.

       "Kak, Lusa Nando ulang tahun. Barangkali Kak Theo belum tau."
       "Oh ya? Kasih kado apa ya enaknya."
       "Kenapa ngga bikin kue ulang tahun aja?"

●●●

       "HAPPY BIRTHDAY FERNANDO BUAYA KITA SEMUAAAA"

       Nando terkejut saat melihat dinding kost sudah dipenuhi foto foto aibnya berjejer dengan hiasan hiasan lain. Tak terlihat seperti pesta ulang tahun remaja, Mereka mengusung konsep ulang tahun anak anak.

       "Gila lo semua, Masa sweet seventeen acaranya kaya paket ulang tahun di McD sih. Btw ngga ada badut apa?"
       "Kan lo badutnya, Ngebadutin cewek se Indonesia." Ucap Kenan sembari merangkul Viona yang langsung ditepis oleh Nando.
       "Minggir ngga lo, Ini cewe gue." Nando menarik Viona menuju tempat yang aman.

       Babeh Guntur menghampiri Nando dengan membawa kue ulang tahun sederhana buatan Theo.
       "Ayo tiup lilinnya. Apa mau Babeh yang tiup?"
       "Babeh mau tiup lilinnya?" Tanya Nando.
       "Tiup ubun ubun lo biar setannya keluar. Udah buruan tiup lilin, Pegel ini tangan, Ngerjain orang tua aja lo pada."
       "Iya sabar apa Beh, Marah marah mulu kenapa sih."

       Nando meniup lilin yang menancap diatas kue. Tepukan tangan dari para penghuni kost semakin memeriahkan acara sederhana itu.

      "Nando, Selamat ulang tahun ya." Bisik Viona yang berdiri tepat disamping Nando. Remaja itu tersenyum dan mengangguk.

        "Kue nya enak banget, Ya walaupun penampilannya norak polll, Beli dimana?"
       "Gue yang hias tau." Jawab Gibran, Nando reflek menutup mulutnya.

       "Sorry Gib sorry. Gue pikir kuenya beli, Jadi ini kue lo yang bikin?"
       "Kak Theo yang bikin. Gue bantu hias doang."
       "Aaa gitu toh, Tapi kalo diliat ngga norak norak banget sih hehehe."

       Theo tersenyum melihat Nando dan yang lainnya begitu menyukai kue yang ia buat. Ada kepuasan tersendiri di hatinya.

       Mata Theo beradu pandang dengan Gibran, Mereka saling melempar senyum. Gibran mengacungkan ibu jarinya, Mengapresiasi hasil karya Theo.

       "Kak Theo, Bulan depan aku ulang tahun. Bikinin ginian juga dong." Cinta menyenggol bahu Theo dan tersenyum lebar.
       "Iyaaaa, Buat yang bentar lagi dibolehin pacaran sama Babehnya."

       Perayaan ulang tahun Nando hari ini menggerakkan hati Theo, Orang orang baik itu berkali kali mendorongnya untuk mencoba mengasah bakatnya di dunia kuliner namun selalu ia abaikan. Mungkin tak ada salahnya ia mencoba bangkit, Melupakan mimpinya dan mulai merangkai mimpi yang baru.

Jangan lupa vote sebelum lanjut membaca ya, Terimakasih   

DIBAWAH ATAP KOST (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang