Seorang wanita berjalan pelan menyusuri perumahan yang ramai. Dari balik rumah yang berjejer rapi ia tahu bahwa akan ada orang yang entah menatapnya iba atau justru malah membicarakannya. Netranya tak lepas dari sosok gadis mungil di hadapannya. Satu persatu orang yang lewat menyapa, entah itu sapaan tulus atau tidak ia tak begitu mempermasalahkannya.
Kini ia tiba di rumah yang menjadi saksi ia lahir, tumbuh, bahkan sekarang menjadi saksi kehidupannya bersama sang anak. Karena mulai saat ini ia dan sang anak akan tinggal disini, mungkin untuk selamanya?"KAK KLARA!" Teriak Harsa
"Harsa gausah teriak anjing. Kuping gua sakit." Bentak Redeya
"Ayaaaaaah." Gadis mungil itu berlari tak menghiraukan sang bunda yang tengah memanggilnya untuk tidak berlari. Harsa menggendong gemas sang keponakan. Iya, Aurel adalah anak dari sang kakak, keponakannya ini memanggil dirinya beserta saudaranya dengan sebutan 'Ayah' sedari kecil.
Redeya menggeleng kecil, pandangannya teralihkan ke sang kakak yang sedang kesulitan menarik kopernya.
"Kak, harusnya telfon aku tadi kan bisa aku jemput."
Klara menggeleng pelan
"Gausah atuh mas, kakak tadi jalan dari halte kesini deket. Dulu juga kan sering jalan lebih jauh dari ini.""Beda dong kak, sekarang kakak jalannya sama ini tuyul satu."
Aurel memukul pelan pipi Harsa.
"Aurel bukan tuyul ya ayah, enak saja."Ketiga orang dewasa itu terkekeh pelan, namun atensi mereka kembali teralihkan pada seorang wanita paruh baya dan laki-laki yang baru saja membuka gerbang rumah. Laki-laki itu Jerro mengekorinya dari belakang.
"Loh kakak udah sampai ya, udah daritadi?" Tanya Yona sang mama
Klarisa menggeleng pelan
"Baru aja kok ma.""Nenek, itu ayah Jerro kenapa?"
Mereka sontak menoleh pada Jerro yang sedang mengerucutkan bibirnya."Bang, serius muka lo gaada lucunya kayak gitu. Jijik gua liatnya." sewot Harsa
Aurel merengek minta diturunkan dari gendongan Harsa, ia melangkahkan kaki kecilnya ke arah Jerro.
"Ayah Jerro, jangan sedih. Nanti Aurel kasih minta permen deh."
Harsa tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu Jerro tidak paham.
Selepas itu mereka masuk ke dalam, dan mendapati Navan tengah menuruni anak tangga dengan wajah bantal."Kok gaada yang bangunin gua sih" Dumel Navan
***
"Oh jadi kalau kita makan gak berdoa itu nanti yang makan nasinya cacing ya yah?"Harsa mengangguk cepat.
"Oke janji aurel gak lupa lagi."
Tepat saat mereka menautkan jari kelingking, Redeya membuka pintu kamar.
"Ngajarin apa lo ke Aurel? Ngajarin yang aneh-aneh gua gaplak lo."Harsa mengelus dada pelan.
"Emang ya mas, lo gak bisa gak nuduh gua sehari aja. Padahal tampang gua kagak ada kriminal-kriminalnya deh. Ganteng malah. Iya gak rel?"Aurel hanya mengangguk kecil, sambil mengunyah keripik ubi pemberian sang nenek. Ia tak terlalu mengerti pembicaraan dua orang dewasa dihadapannya.
"Kayak Opa Ujang iya."
Jadi Opa Ujang itu tetangga depan rumah yang sering berjemur didepan kalau pagi hari. Anaknya Opa Ujang itu om Sagra, sahabat baik Alm sang papa dari jaman sekolah sampai papa tiada."Enak aja, gua hina balik lo ya"
"Apa ini main hina-hinaan?" Klara muncul dari kamar mandi dengan handuk ditangannya.
"Ini nih mas Re, ngehina mulu. Kayaknya sehari gak ngehina gua tuh gatel banget mulutnya"
Klara hanya menggeleng kecil. Atensinya ia alihkan pada putri semata wayangnya yang tengah asik mengunyah, mendekap toples, dengan kaki yang diayun-ayunkan.
"Aurel gak boleh banyak makan keripik ya, nanti tenggorokannya sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR (END) ✔
Fanfiction"Abang itu kuat. Kalau abang tidak dapat apa yang abang inginkan jangan marah. Kalau kehilangan sesuatu, jangan terlalu larut dalam kesedihan, cobalah mengikhlaskan. Dan jika abang merasa apa yang abang lakukan tidak berguna bagi orang lain, maka co...