Langit berubah sedikit demi sedikit. Jika dilihat-lihat, langit telah berubah warna menjadi jingga. Tiga saudara ini berjalan tak seirama. Turun dari mobil Redeya, sang pemilik mobil berjalan lebih dulu tanpa menyahut ucapan dari pelayat yang hendak pamit. Disandra yang melihat itu segera berjalan cepat mengejar sang kekasih. Berbeda dengan Jerro yang masih memegang Navan yang tengah bersandar dibahunya. Jerro hanya fokus menuntun adiknya untuk masuk ke kamar.
Jerro tak melirik ke arah kamarnya bersama Redeya. Ia hanya ingin mengantarkan Navan, mengingat Redeya sudah ditemani sang kekasih. Setelah tiba dikamar, Jerro membantu Navan menyandarkan tubuhnya pada ranjang.
Jerro tak menampik bahwa, Navan terlihat sangat kacau. Jerro menarik selimut guna menyelimuti tubuh dingin Navan, tepat saat selimut sudah sampai pada bagian tubuhnya, Navan membelakangi Jerro dengan tubuh meringkuk.
Isakan kecil mulai kembali terdengar, bahkan pendengaran Jerro bisa dengan jelas mendengar Navan memanggil Harsa dengan sangat pelan. Entah sampai kapan, Jerro benar-benar sudah tak bisa melihat Navan yang sedari tadi hanya menangis.Tangannya terulur mengelus rambut hitam nan halus milik Navan. Adik kecilnya kini kehilangan sosok seorang kakak, lagi.
"Na? Kalo Navan kangen abang Harsa, cukup doakan abang.""Hiks..." Bukan sahutan ini yang Jerro inginkan.
"Harsa akan ada dihati Navan sampai kapanpun. Harsa akan ada dikamar ini sampai kapanpun. Harsa akan ada dengan kita, tapi bedanya kita gak bisa lihat dia."
Tak ada jawaban kembali, Jerro memaklumi jika Navan sangat terpukul. Bagaimanapun dia adalah anak terkecil dikeluarga ini. Bagi Jerro, mungkin hatinya tak bisa setegar yang lain.
"REDEYAAA!"
Jerro mendengar keributan dibawah. Tanpa pamit, ia segera turun untuk melihat apa yang terjadi. Mengabaikan Navan yang masih terisak.
"Bang Harsa jahat! Adek benci abang. Hiksss...."
Jerro berlari, saat memasuki kamarnya ia mendapati Ayah Hejina berusaha melepaskan sebuah gunting dari tangan Redeya. Tak habis pikir, pikiran konyol apa yang kakaknya ini sedang pikirkan.
"Mas." Gumam Jerro diambang pintu."Lepasin!" Bentak Redeya pada Ayah Hejina.
Disandra sudah menangis dipelukan sang ibu. Jerro berjalan mendekat, meraih tangan yang digenggam kuat oleh ayah dari kekasihnya. Air matanya kembali lolos, serapuh inikah Redeya? Jika yang pergi adalah dirinya, apakah Redeya juga seperti ini?
"Mas. Lepasin ya?"
"Gak, Jerr! Gua mau ikut Harsa."
"MAS!" Bentak Jerro. Dia muak dengan semuanya. Dia juga sakit, dia juga lelah, dia juga sama tak relanya. Tapi kenapa gak ada yang paham perasaannya.
"Mas mau bunuh diri? Iya?"
"Silahkan." Jerro yang sebelumnya sudah bisa melepas gunting dari genggaman Redeya, memberikan kembali pada sang kakak.
"Bunuh diri sekarang! Gua pengen lihat mas pergi. Biar impas semua keluarga gua mati depan gua.""Hiksss...." tangis Redeya kembali terdengar.
"Saat keadaan kayak gini seharusnya lo gak seperti ini mas. Navan butuh kita, gua butuh lo. Kalo lo mati, gua gimana?"
"Lo gak sayang gua?"
"Apa bunuh diri adalah jalan terakhir lo buat ninggalin gua sama Navan?"Redeya memandang lurus pada netra Jerro. Mata itu mengeluarkan air mata sangat banyak. Adik yang selalu terlihat tegar itu menangis.
"Gua sayang lo mas. Udah cukup. Harsa jadi yang terakhir, gua.... gua gak mau ada lagi.... hikss."
Degan sigap Redeya menarik tubuh Jerro. Dirinya paham bahwa ucapan Jerro benar. Jerro dan Navan butuh dia.
"Lo egois mas. Lo gak mikirin gua."
"Hikss... gua juga kehilangan mas."
"Arrggghh." Jerro menangis keras sembari berteriak. Ia sadar sekuat apa ia menahan ini, tak akan bisa ia pendam lama, ia juga butuh sandaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR (END) ✔
Fanfiction"Abang itu kuat. Kalau abang tidak dapat apa yang abang inginkan jangan marah. Kalau kehilangan sesuatu, jangan terlalu larut dalam kesedihan, cobalah mengikhlaskan. Dan jika abang merasa apa yang abang lakukan tidak berguna bagi orang lain, maka co...