Selamat Tinggal Mama

1.1K 136 1
                                    

Coba sambil denger soundnya. Siapa tau feelnya dapet :')

Happy Reading

.
.
.

Harsa yang mendapat telephone dari masnya segera menuju rumah sakit. Kakak perempuannya juga tak kalah panik, namun ia sebisa mungkin tenang. Di jalan ramai ini Harsa menancapkan gas motornya dengan kecepatan tinggi. Ia tak paham bagaimana bisa sang mama terjatuh dan tak sadarkan diri. Padahal tadi pagi ia masih bercengkrama dengan sang mama dan bilang kalau ia yang akan membantu sang kakak di kios karena kebetulan hari ini libur.

Tak menghiraukan Klara yang terus berucap pelan-pelan untuk mengendarai motor, Harsa tetap pada kecepatan tinggi membelah jalanan yang ramai. Ia tak henti-hentinya berdoa untuk sang mama.

Setelah tiba dirumah sakit, ia segera menghubungi saudaranya yang sekiranya bisa dihubungi. Dan disini Harsa sekarang, tepat berdiri didepan ruang yang Harsa yakini didalam sana ada keluarganya,

Klara memegang knop pintu dan segera masuk. Harsa awalnya tak ingin masuk, namun ia tak bisa berdiam diri diluar seperti ini. Ia kembali meraih knop pintu, dan yang Harsa lihat pertama adalah sang keponakan yang menangis digendongan Jerro.

Mas Re yang duduk disamping ranjang sang mama. Bisa Harsa lihat kalau masnya itu sedang menahan tangis. Dan Navan yang tengah duduk gelisah dengan air mata yang tak henti menetes.

"Kak?" Redeya segera berdiri saat tau Klara sudah tiba dan memberi akses untuk Klara.
Harsa memilih mendekati Aurel yang tengah menangis tak henti-henti padahal Jerro sudah mencoba menenangkannya.

"Kenapa bisa begini?" Tanya Klara pada Redeya.

"Tadi mas dikamar kak lagi rapihin berkas kantor. Navan juga lagi nemenin Aurel, Jerro lagi disuruh mama beli gula ke mang Jaka. Tiba-tiba mas denger ada suara dari kamar mama. Waktu mas samperin, mama udah jatuh dan gak sadarkan diri."

Fokus Klara masih pada sang mama yang kini tubuhnya kaku. Tidak ada lagi hembusan nafas, justru yang Klara lihat adalah wajah pucat sang mama. Klara mengusap pelan pipi sang mama, berharap bahwa yang terjadi ini adalah mimpi.

"Ma? Ini Klara ma." Klara mengusap air matanya pelan, Harsa bahkan tidak sanggup lagi bahkan untuk sekedar berjalan menuju ranjang sang mama.
Ia hanya melihat Klara sang kakak yang menggengam kuat tangan sang mama.

"Bangun ya ma? Tadi Klara banyak dapat jualan loh ma, kayaknya karena abang ikut nemenin. Mama bangun ya? Nanti Klara belikan cake kesukaan mama, tadi pagi mama bilang mama pengen makan cake kan? Mama bangun ya, nanti Klara suruh bang Jerro yang belikan."

Klara masih tetap menggenggam tangan sang mama. Mengusap pelan pipi yang kini berubah tirus.

"Ma bangun ma, jangan bercanda kayak gini. Klara gak suka!!!"
Klara tidak bisa menahan tangisnya lagi. Redeya yang melihat itu segera memeluk sang kakak berusaha memberi sedikit kekuatan. Karena ia pun sama terpukulnya seperti sang kakak.

"Ma, Klara masih butuh mama. Adik-adik juga masih butuh mama."
"Kenapa mama tega ninggalin kita kayak gini?"
"Ma bangun ya? Klara bakal marah sama mama kalau mama gak mau bangun."
"MA!!!"

Klara kemudian beranjak menghampiri Harsa.
"Harsa, bangunin mama ya? Biar kita bisa ajak mama beli cake kesukaannya. Tadi kamu denger kan mama bilang mau dibeliin cake dicafe biasa."

Harsa sama sekali tidak merespon. Ia membiarkan Klara tetap berbicara.
"Harsa, bangunin mama cepet."
Klara memukul pelan dada Harsa. Tak sanggup melihat sang kakak menangis keras, Harsa segera meraih Klara ke dalam dekapannya.

"Ma, bilang sama Harsa ini mimpi kan?" Gumam Harsa dalam hati.


***

Kini tiba saatnya merelakan permata yang benar-benar Harsa sayangi. Meskipun tidak banyak hal yang bisa ia lakukan dengan sang mama, tapi kepergian mama benar-benar menoreh luka yang amat sangat besar.
Tak terhitung sudah berapa kali dirinya menangis semenjak sang mama tiba dirumah sampai saat ini ditengah pemakaman yang bisa Harsa lihat hanya tinggal beberapa orang saja.

Harsa menatap Klara yang masih setia duduk termenung disamping makam sang mama. Abangnya, Jerro yang tetap tegak memegang Klara yang sudah lemas karena terlalu banyak menangis.

Harsa menoleh ke kanan, ia menatap Redeya yang masih terisak dan ditenangkan oleh seorang wanita yang Harsa yakini itu temannya atau mungkin saja kekasihnya. Pandangannya teralihkan saat Navan tiba-tiba datang menggendong Aurel yang kini tengah tertidur.

"Mas Harsa, coba bujuk mbak Klara ya? Alangkah baiknya sekarang kita kembali. Kasian nak Aurel sudah lama disini. Mbak Klara juga perlu istirahat. Dibantu bujuk ya mas?" Harsa mengangguk setelahnya tetangganya itu pamit.

Ia melangkahkan kakinya menuju sang kakak. Harsa mengusap pelan wajahnya sebelum berbicara pada Klara. Jerro yang awalnya merangkul Klara kini berdiri dan memilih berdiri dibelakang sang kakak perempuan bersama Navan, Aurel, dan Redeya.

"Kak, sudah ya? Mama pasti sedih kalo liat kakak kayak gini."

Klara tak bergeming sama sekali. Bisa Harsa lihat, netra sang kakak masih tertuju pada batu nisan milik sang mama.
Tatapan itu kosong, tak seperti Klara yang ia kenal.

"Kasihan Aurel kak, besok kita kesini lagi ya? Nanti Harsa yang anterm"

Klara akhirnya berdiri. Dengan cepat Redeya merangkul sang kakak, membantunya untuk masuk ke dalam mobil. Langkah mereka berdua diikuti oleh Jerro, Navan, dan Aurel yang berada digendongan Navan.

"Ma tolong bilang ke Klaraya, semuanya akan baik-baik saja kan tanpa mama?" Gumamnya sebelum sepenuhnya meninggalkan pemakaman.

Sebelum pergi, Harsa menyempatkan diri mengusap batu nisan sang mama. Masih jelas diingatannya wajah cantik sang mama yang memberi ia kecupan didahi sebelum ia dan sang kakak pergi ke kios untuk berjualan. Harsa benar-benar masih belum percaya bahwa itu menjadi hari terakhir, dan kecupan terakhir yang ia terima dari sang mama.

"Mama sudah tenang kan? Mama sudah bertemu papa kan?"
"Sampaikan pada papa ya ma, maaf Harsa belum bisa membahagiakan mama. Sebagai gantinya, Harsa janji Harsa akan membahagiakan saudara-saudara Harsa."
"Harsa pulang ya ma?"

Harsa beranjak, dan meninggalkan makam sang mama. Langkah kecilnya ia arahkan menuju mobil Redeya yang mana Jerro masih setia menunggu Harsa untuk masuk ke mobil.

Harsa tak pernah membayangkan mamanya akan pergi dengan jalan seperti ini. Terlalu tiba-tiba, dan ia juga tak tahu apa ia bisa bertahan tanpa mamanya. Kali ini Harsa membetulkan ucapan Doyok temannya, yang selalu bilang pada Gilang bahwa Hidup tidak ada yang tahu. Iya, tidak ada yang tahu kapan musibah akan datang.
"Ma, Harsa sayang mama."



***


Setiba dirumah, Redeya meminta Navan untuk menemani sang kakak. Redeya langsung masuk ke dalam kamar. Jerro tau masnya itu terlihat sangat rapuh dibanding dirinya untuk menerima hal ini.

"Bang, nanti Aurel biar tidur sama gua aja ya? Atau dikamar Lo? Gua belum yakin Kak Klara baik-baik aja."

Jerro mengangguk kemudian pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.

"Ayah?"

"Loh Aurel ke bangun ya?" Tanya Harsa

"Aurel nanti mau bobo bareng Ayah Harsa aja ya?"

Harsa mengelus pelan rambut Aurel, dan mengangguk sekilas.
"Iya nanti Aurel bobo sama ayah ya? Nanti Aurel boleh minta jajannya ayah Na juga. Tapi janji enggak nangis lagi?"
Aurel mengangguk lucu.

Bagi Harsa, hal yang harus ia lakukan sekarang yaitu membuat keadaan rumah kembali normal, walaupun ia tidak tahu cara pastinya.

Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar dilantai 2. Namun sebelumnya ia melirik ke arah kamar Redeya. Masnya belum tidur, terlihat jelas dimata Harsa kalau Redeya tengah menangis.

Tak berniat mengganggu Redeya, ia memilih kembali ke niat awalnya untuk memasuki kamar.
"Ma, tolong jaga kita ya?"
































Jangan lupa vote ya 🤗
Gomawo

AKHIR (END) ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang