Janji yang Harus ditepati

772 102 2
                                    

Sore ini menjadi saksi empat saudara kehilangan sosok keluarga untuk kesekian kalinya. Sosok yang juga ikut berjuang di dalam keluarga mereka.

Hujan tak mengurungkan niat mereka untuk tetap menemani sang kakak dan keponakan menuju rumah tuhan. Harsa bersimpuh diantara makam milik Klara dan Aurel. Ia benar-benar merasa bahwa semesta sedang mempermainkannya. Apa tidak cukup papa dan mama?
Harsa selalu bertanya itu pada sang pencipta.

Luka yang ditorehkan atas kehilangan sang mama sebulan lalu belum benar terhapus, dan kali ini keluarganya harus kembali menerima luka yang amat sangat besar. Apakah kehilangan orang yang dicintai menjadi hukuman bagi keluarganya?

Harsa sedari tadi tak henti menatap batu nisan milik Klara. Baru tadi mereka berbicara bersama, dan sekarang mereka sudah berada pada dunia yang berbeda.
Bulir air mata kembali membasahi pipi Harsa. Ia benar-benar merasa ini mimpi, dan ia harus segera bangun.

Redeya masih terduduk diam, disampingnya masih ada Disandra yang setia mengusap bahu sang kakak. Sementara Navan dan Jerro sudah terlihat sangat kacau. Navan sempat menangis keras saat baru tiba dipemakaman dan Jerro harus turun tangan menenangkanya.

Harsa mengusap tanah dihadapannya yang masih basah dan semakin basah karena hujan.

"Kak."
"Kakak lagi bercanda ya?"
"Kakak pergi tiba-tiba terus bawa Aurel."

Harsa terus mengusap makam milik sang kakak, berharap ada keajaiban untuk keluarganya. Namun rasanya seperti tidak mungkin karena kakak dan keponakannya sudah terkubur dibawah sana.

"Abang bandel kan kak? Coba aja yang anter kalian tadi abang, pasti sekarang kita dirumah lagi makan enak."

Harsa mengusap pipinya yang basah.
"Kakak pernah bilang kalo abang bandel, kakak mau pukul abang."
"Abang bandel loh kak, ayo pukul abang kak."
"Kakak gak pernah bohong, selalu nepatin janji, jadi abang tagih janji kakak."
"Ayo pukul abang kak. Ayo."

Harsa sudah tak bisa menahan tangisnya. Helena yang sedari tadi berdiri dibelakang Harsa bersama orang tuanya juga tak bisa menahan rasa sakit saat melihat Harsa rapuh seperti yang ia lihat sekarang ini. Celana, baju, kaki, tangan penuh dengan tanah. Harsa benar-benar terlihat amat sangat kacau.

"Bangun yuk kak, kita pulang ya?"
"Kita ajak Aurel juga, ayo kak."

Harsa beralih pada makam milik Aurel yang tepat berada disebelah Klara.
"Aurel."
"Aurel pulang yuk sama ayah Harsa."
"Tadi Aurel bilang pengen dibeliin permen kapas kan?"
"Ayo, ayah beliin sekarang. Tapi Aurel bangun ya sayang?"

Harsa menepuk-nepuk tanah dihadapannya keras.
"Ayo Aurel, bangun ya?"

"Har, jangan gini."
Harsa menggeleng, ia melepaskan rangkulan Jerro.
"Bang, bangunin kak Kla sama Aurel bang."
"Mereka gak boleh disini. Ayo bang bangunin."

Harsa menarik-narik lengan Jerro yang tentu semakin membuat Jerro tak tahan.
"Lo gak boleh gini, mereka udah berpulang Harsa. Lo mau bangunin mereka kayak gimana?"

"Gak, ayo bangunin mereka bang. Ayo ajak mereka pulang."

Navan kemudian mengambil alih posisi Jerro. Navan tau bahwa ini sangat menyakitkan tapi lebih menyakitkan lagi saat melihat abangnya ini belum rela dan menyalahkan dirinya terus.
"Bang, ayo kita pulang? Kita berempat bang."
"Mas Re, bang Jerr, abang, dan juga gua."
"Ayo bang?"

Harsa bukannya beranjak, ia justru memeluk Navan kuat. Ia ingat tadi ia ijin pergi pada Navan dan Klara. Padahal sebelumnya Redeya sudah bilang agar dirinya tinggal dirumah dan tak kemana-mana.
"Ayo bang, nanti abang sakit kalo kehujanan terlalu lama."

Tepat setelah itu, Redeya beranjak dan berjalan menuju mobil, disusul Jerro. Dan hanya tersisa Harsa, Navan dan Helena.
Helena tetap berdiri menunggu Harsa, ia tak menghampiri Harsa bukan karena tak peduli. Hanya saja ia tau posisinya sekarang. Dan ia yakin Navan dan saudaranya yang Harsa butuhkan untuk saat ini.

"Ayo bang, kasian kak Helena juga nunggu abang."
"Besok kita kesini lagi, buat ketemu papa, mama, kak Kla dan Aurel."



***


Semenjak pulang dari pemakaman Harsa memilih berdiam diri dikamar. Navan dan Jerro awalnya mengira Harsa hanya butuh waktu untuk menenangkan diri karena ia terus mengatakan ini adalah kesalahannya. Namun saat Jerro ingin memanggilnya untuk makan malam, ia mendapati Harsa menggigil dengan kaki tertekuk. Dengan terus bergumam memanggil mama.

Dan seperti yang terlihat, kini Jerro tengah membujuk Harsa untuk makan karena ia tak mau makan sedari tadi sehingga Jerro tak bisa memberikan obat pada adiknya ini. Tidak mungkin kan Jerro memberikan obat pada Harsa yang mana perutnya tak terisi asupan apapun.
"Har, lo harus makan. Kalo kayak gini lo gak bisa minum obat."

"Obat gua kak Kla sama Aurel bang."
"Bawa mereka pulang ya bang, tolong."

Belum Jerro menjawab, namun pintu kamar Harsa sudah lebih dulu terbuka dengan keras sehingga timbul bunyi yang cukup membuat telinga yang mendengar sakit.

Tanpa aba-aba Redeya menarik Harsa dan membantingnya sang adik ke lantai.
"Mas udah, jangan marah sama bang Harsa. Dia gak salah."

"Dia salah Na, dia gak nepatin omongannya buat gak bertingkah lagi."
"Sekarang apa? Dia menghilangkan dua nyawa keluarga kita sekaligus Na."

"Gua akui gua salah mas."

"Lo emang salah bangsat!"
"Apa diotak lo isinya cuma itu cewek?"
"Har, lo sadar gak sih sama apa yang udah gua bilang kemarin-kemarin?"
"Kalo lo gini terus, gua bener-bener pengen bunuh lo."

"Silahkan bunuh gua mas, gua juga udah capek."

"Lo capek apa gua tanya?"
"Lo kerja? Enggak kan? Lo cuma sekolah doang Har. Gua yang kerja aja gak bisa ngeluh capek karena apa? Karena keluarga Harsa. Karena gua mikirin kehidupan kita semua. Kalo gua bilang capek apa kita bakal bisa hidup? Lo, Navan sama Jerro bakal bisa bayar pendidikan? Gak kan?"
"Gua gak minta lo kerja, gua cuma minta lo utamain keluarga lo."
"Susah banget nurutin kata gua ya? Lo mau gua mati? Iya?"

"Mas."

Redeya mengeluarkan cutter yang ia simpan disaku celananya kemudian segera memberikannya pada Harsa. Redeya mengarahkan pergelangan tangannya pada Harsa. Tepat pada wajah Harsa.
"Ayo bunuh gua sekarang biar lo bisa bebas."
"BUNUH GUA HARSA!"

Ke empat saudara itu sama-sama menangis. Menangis meratapi takdir yang diberikan kepada keluarga mereka. Jerro yang tadinya berdiri segera memeluk tubuh Redeya. Ia tak bisa melihat masnya ini pasrah seperti ini. Karena ini bukan Redeya.

"Ayo bunuh gua Harsa."
Redeya sudah tak tahan dengan emosinya. Ia menangis sangat keras, dan itu justru membuat Harsa kembali sakit. Ia tak mungkin bisa membunuh Redeya. Tak akan mungkin pernah bisa.

"Gua lelah."
"Gua berjuang selama ini karena gua merasa hanya kalian yang gua punya. Kalian penyemangat gua selain Disandra."
"Dan tepat tadi, gua merasa gua gagal buat jadi kepala keluarga. Gua gak becus."

Harsa menggeleng kuat. Redeya telah sukses, dia benar-benar sukses membangun keluarga ini agar tetap kuat.

"Tolong, apa gua perlu berlutut dihadapan kalian?"
"Gua bakal lakuin kalo memang itu harus gua lakukan."
"Kita sudah kehilangan papa, mama. Bahkan sekarang kak Kla dan Aurel."
"Gua takut, gua trauma akan ini."
"Entah dimasa lalu gua pernah buat salah apa sampai-sampai sekarang gua harus menerima situasi kayak gini."

"Mas gua minta maaf."
"Jangan kayak gini ya?"
"Bangun mas." Harsa berusaha membantu Redeya untuk bangun. Melihat Redeya menangis saja ia berat apalagi harus melihatnya berlutut.

"Gua sayang kalian, gua sayang lo mas."
"Maaf. Gua tau maaf gua gak akan bisa balikin keadaan. Tapi gua janji, gua akan nurutin mas. Kalo gua ingkar, gua siap nerima semuanya."

Harsa sudah berjanji. Dan janji harus ditepati bukan? Namun ia kembali dibuat berpikir. Apakah ini artinya ia harus siap kehilangan Helena juga?
Setelah kehilangan kakak dan keponakannya tadi, apakah ia harus kehilangan Helena juga?

AKHIR (END) ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang