Malam telah berlalu dan berganti menjadi pagi. Dan pagi ini terasa sunyi, padahal biasanya dipagi hari Redeya atau Klara akan sibuk didapur.
Jerro semalam tidur dikamar Navan mengingat Harsa tidur dikamar Klara. Jerro setakut itu hingga tak berani masuk ke kamarnya bersama Redeya.
"Bang, nanti bang Harsa gua ijinin ya? Gak mungkin juga dia sekolah kayak gitu kan."
"Iya, sekalian deh lo tanyain si Helena apa yang sebenarnya terjadi."
Setelah itu, baik Navan dan Jerro sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aurel juga masih setia dikamar mereka.
"Mas, udah mas." Teriak Klara
Navan tentu saja kaget. Karena tadi dilantai 1 benar-benar sunyi. Tapi sekarang ia mendengar keributan, dan ia rasa itu pasti Redeya.
"Bang turun bang." Ajak Navan
"Ayah, Aurel mau ikut."
Navan tak bisa berpikir sekarang, ia memilih untuk memberikan Aurel ponselnya untuk menonton cartoon dari pada ia ikut turun ke bawah.
"Aurel nonton cartoon dulu ya? Jangan turun ke bawah. Oke?"
Aurel hanya mengangguk senang karena bisa membawa ponsel Navan. Terlebih bisa menonton cartoon kesukaannya.Segera setelah itu, Navan menuruni anak tangga dan melihat Jerro menahan Redeya. Dan Klara yang tengah memeluk Harsa.
"Lepasin gua Jerr, orang kayak dia ini harus gua kasi pelajaran. Harus gua kasi tahu arti kata bersyukur." Teriak Redeya
"Lepasin gua!!!""Mas, udah mas. Harsa lagi sakit, lo pukul yang ada keadaannya makin parah." Lerai Jerro
Klara masih terus memeluk Harsa. Badan Harsa masih terasa panas, bahkan luka-luka semalam belum ia obati hari ini. Dan Redeya menambahkan layangan pukulan kembali.
Klara menunduk dan melihat Harsa sekilas, dan sangat jelas terlihat adiknya itu mati-matian menahan sakit, dan itu sukses membuat Klara makin menangis.
"Mas, udah ya? Harsa jangan dipukulin lagi." Pinta Klara
Ia membiarkan Navan memegang Harsa, dan beranjak menuju Redeya. Menggenggam jemari Redeya yang bergetar. Ia tahu Redeya tidak akan secepat itu luluh tapi ia akan terus mencoba agar emosi Redeya mereda."Mas, kakak mohon. Harsa lagi demam mas, lukanya juga belum mendingan. Mas gak kasian? Dia adik mas."
Redeya melepas genggaman tangan Jerro dan Klara. Ia berjalan menuju Harsa. Dan Harsa amat sangat sadar sejak tadi. Ia tak mengelak karena ia tahu, dirinya salah disini.
Semua ini karena dirinya. Keributan ini adalah ulahnya. Redeya emosi seperti ini karena dirinya. Ia benar-benar pencetus perkara ini.
Redeya menarik kaos Harsa.
"Gua bilang apa kemarin? Gua bilang Helena gak seiman sama kita, gua minta lo buat mikir Har. Dan lo ngeremehin ucapan gua."
"Apa yang dia janjiin ke lo? Apa dia minta lo buat ngelepas kepercayaan dan keluarga lo?"Harsa tak bergeming. Ia malah menunduk, tak mampu menatap netra milik sang kakak.
"Gua tanya bangsat. Jawab!!!"
"Enggak bang. Helena gak gitu, dia orang baik." Jawab Harsa pelan.
"Kalo dia baik kenapa dia tega buat lo kayak gini?"
"Kenapa dia minta lo jemput? Padahal bukan lo yang ngajak dia pergi." Tanya Redeya."Lo sadar gak Har? Gua capek, banting tulang kerja buat keluarga kita. Gua gak minta kalian muji gua. Gua gak pernah minta itu. Cuma tolong jangan bikin masalah."
"Gua kerja buat menuhin semua kebutuhan. Buat sekolahin lo, Jerro, Navan. Apa gua pernah minta lo buat balikin semua uang gua? Sampai lo kerja juga gua akan berusaha tetep bertanggung jawab sama lo dan yang lain."
"Mati-matian gua begadang, lembur, apa itu gak bisa bikin lo mikir buat gak ngerusuh?"
"Kak Klara kerja sampai malem juga buat menuhin kebutuhan dirumah, kebutuhan Aurel."
"Gua cuma minta lo jangan bertingkah Har."
"Jangan nyusahin gua yang udah susah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR (END) ✔
Fanfiction"Abang itu kuat. Kalau abang tidak dapat apa yang abang inginkan jangan marah. Kalau kehilangan sesuatu, jangan terlalu larut dalam kesedihan, cobalah mengikhlaskan. Dan jika abang merasa apa yang abang lakukan tidak berguna bagi orang lain, maka co...