Hari Milik Mas Redeya

798 93 0
                                    

Terik matahari sudah mulai menusuk kulit. Dikomplek rumah sudah banyak yang lalu lalang entah untuk pergi bekerja, atau ibu-ibu yang datang dari pasar. Jerro yang sedari tadi malas mendengar perdebatan di dalam rumahnya, memilih untuk membuka pagar rumah karena sebentar lagi ia harus ke kampus.

"Eh nak Jerro, belum berangkat kuliah?" Tanya Ibu RT yang Jerro perkirakan baru datang dari pasar bersama anak gadisnya.

"Belum Bu. Baru selesai sarapan."
"Ibu baru balik dari pasar ya?"

"Iya. Nih anak ibu katanya gak ada jadwal kuliah sekarang jadi mau masak lebih karena temannya mau datang."

Jerro hanya mengangguk dan melirik sebentar anak perempuan dari Ibu RT.
"Nak Jerro, ibu pamit dulu kalau gitu ya? Kasian nanti anak ibu kalau lama-lama liat nak Jerro yang ganteng ini. Takutnya dia pingsan nanti ibu susah seret bawa pulang."

"Ibu ih, jangan gitu." Rengek dari gadis disebelah ibu RT.

Tak banyak hal yang dapat Jerro lakukan kecuali tersenyum kecil. Ia tak begitu kenal dekat dengan gadis dihadapannya ini. Yang ia tahu, anak tunggal ibu RT ini beda setahun dengan Harsa.

"Pamit ya?"

"Iya bu."

Kakak dari Harsa, dan Navan ini kemudian kembali masuk ke dalam, ia kira pergelutan antar saudaranya sudah berakhir, ternyata masih dalam puncak konflik. Ia bisa lihat Harsa yang tengah menampilkan wajah tak terimanya, Navan yang tengah membawa dua spatula entah fungsinya apa Jerro tak tahu. Sementara si sulung terlihat memijat pelipis. Sungguh gambaran keluarga harmonis.

"Bukan gua yang buang mas."

"Terus kalo bukan lo siapa? Kan lo beberes sambil nyampu tadi pagi."

"Ya udah sih beli lagi."

"Beli beli, sana lo yang beli." Jawab Redeya tak kalah emosi.
Jerro berjalan menuju Navan, ia menarik telinga sang adik yang tengah mengayun-ayunkan spatula di kedua tangannya seakan-akan mengompori dua saudaranya yang tengah beradu mulut.

"Lo kagak usah ngomporin mereka, Na. Sana siap-siap katanya mau nemenin Harsa."

"Heh seru ini mah bang."

"NAVAN!"

"Oke siap laksanakan." Navan berlari menuju kamar dan memberikan spatula yang ia pegang pada Jerro.

"Nih pake pulpen gua dulu. Tar gua beli atau minjem pulpen Doyok aja."
Redeya mengambil pulpen yang diberikan oleh sang adik.
"Pulpen lo burik banget Harsa."

"Hm, gua sering gigit-gigit atasnya biar keliatan aesthetic."
Redeya yang mendengar itu sontak melempar pulpen yang awalnya ditangannya. Ia jijik tentu saja.
"Jorok banget sih. Sumpah lo kelainan HARSA!"

.
.
.

"Bang bang"

"APA?"
Navan sontak menggetok helm Harsa. Mereka tengah diperjalanan menuju toko pernak pernik, dan sekarang tengah berhenti dilautan manusia karena traffic light menunjukkan warna merah.
"Jangan ngegas anjir."

"Iye kenapa Navan ganteng."
Navan memutar bola matanya malas. Berbicara dengan Harsa kadang membutuhkan mental yang kuat.
"Nanti beneran mau bikin party?"

"Bukan party Na, cuma acara kecil aja. Kalo party mah meriah cuy, butuh dana gede."
Harsa melajukan motornya saat lampu sudah berubah menjadi hijau.
"Nanti ribut digrup aja deh buat ngatur."

"Si bang Doyok sama bang Gilang lo undang kan?"

"Iye, disuruh sama bang Jerr. Ngundang dua orang itu yang ada nasi cepet abis."

AKHIR (END) ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang