Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pemuda itu menatap lurus pada sosok yang berbaring lemah di tempat tidur, memejamkan mata dengan tidak berdaya. Juga dapat dipastikan dengan baik bahwa dia tidak akan terbangun sampai dua hari ke depan.
Pemuda itu menatap tanpa ekspresi. "Maaf, Haruto." katanya pelan, lalu melangkah pergi.
Dia melangkah dengan tenang menuju pintu keluar, setelahnya pemuda itu mengunci ruangan tempat sosok itu berbaring. Dia menatap tangan kanannya, beberapa detik setelahnya muncul sebuah cahaya keemasan dari tangannya yang merambat ke seluruh bagian pintu.
Cahaya itu menyelimuti selama beberapa saat sebelum akhirnya menghilang seolah tidak pernah ada. Barulah, pemuda itu melangkah pergi.
*
Kelas ini terasa begitu ramai karena mereka memandangnya dengan sorot merendahkan. Sorot mata seperti itu, dapat melukai hati kecilnya.
Lalu dengan tidak tahu malu mereka berbisik-bisik dengan keras menyindir, beberapa bahkan mengumpatinya dengan terang-terangan.
Kenapa?
Haruto sama sekali tidak mengerti. Kenapa mereka memandangnya dengan sorot seperti itu?
Dia bahkan tidak melakukan sebuah kesalahan. Haruto hanya bersikap selayaknya seorang siswa dan remaja pada umumnya.
Haruto membuang nafas pelan dan menggeleng. Tidak. Ini mungkin hanya perasaan-nya saja.
Setelah melangkah melewati meja dan kursi, Haruto sampai di tempat duduknya. Langkah Haruto terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang mematung.
Manik hitamnya melebar dengan terkejut yang tak lama berubah menjadi amarah. Tangannya perlahan terkepal. Giginya bergemeletuk geram.
Siapa?
"Siapa yang dengan kurang ajar buang sampah ke meja dan tempat duduk gue?!" Haruto menatap penghuni kelas dengan sorot tajam.
"Oh?" seorang laki-laki mendekat ke arahnya dengan senyum miring. "Lo marah, Haruto?"
Manik hitam Haruto beradu tatapan dengannya, tatapan tajam dan tegas itu menatap lurus padanya. Pada seorang pemuda yang diketahui bernama Jung Juan tersebut.
Juan menghentikan langkah di depan Haruto, menatap remeh ke arahnya. Lalu, tanpa aba-aba Juan meraih bahu Haruto dan melayangkan lututnya menghantam perut Haruto membuat pemuda itu meringis. Tangan kanannya meraih rambut Haruto untuk kemudian di jambak dan dibenturkan dengan lututnya. Terakhir, dia mendorong Haruto sampai jatuh menabrak mading kelas di belakang.
Haruto terbatuk dengan hidung yang mengeluarkan darah. Kepala Haruto sedikit pusing tapi dengan cepat dia menggeleng untuk mengusir rasa pusing itu, kemudian mendongak menatap sosok Juan. Dia meringis kecil menyentuh perutnya dengan tangan kanan.
Cih, perutnya sakit sekali.
Dia menyeka darah yang keluar dari hidungnya sesaat, "Jadi, bener elo," Haruto kemudian bangkit berdiri dan tersenyum miring. "Elo yang udah buat Haruto babak belur kemarin?"