04.

86 11 1
                                    





Kepala terus tertunduk ke bawah sesekali meringis akibat angin dingin menerpa wajahnya, walau sudah di beri obat tetap saja membuat tulang nyeri sampai ke ulu hati. Baju di gunakan sebelumnya sudah kotor di manapun, dan beberapa bagian ada bekas darah mengering di sana yang semakin mengerikan kepalanya terluka akibat dorongan mereka begitu kuat sampai membuat terbentur oleh tembok pembatas. Dan saat itulah gelap merenggutnya, di saat dia sadar pun masih di tempat yang sama.

Apa memang tidak ada orang mengetahui hal ini?

Atau memang semua orang tidak peduli?

Termasuk sahabat barunya yang telah menipunya.

Isakan kecil pun terdengar saat Jimin mati-matian untuk tidak menangis, ternyata dia tidak bisa menahannya agar tidak melakukan itu karena air matanya terus berbondong-bondong turun dari tempatnya. Dada Jimin terasa sakit dan juga begitu sesak, dia mendongakkan kepalanya ke atas dengan tangan yang terus memukul dadanya dan bibir bawah yang digigit kuat agar suaranya tidak menjadi sebuah teriakkan.

Tatapan sayu yang menyiratkan kesakitan dan kepedihan dia berikan pada bintang dan juga bulan yang tengah bersinar, mereka seperti sedang mengejeknya dengan cahayanya itu walau mereka sering di lupakan tapi mereka tetap bertahan agar semua orang melihat mereka. Bahwa mereka pun sama berharganya seperti matahari.

Namun Jimin tidak.

Dia sudah berusaha sekuat mungkin menjadi seseorang yang membuat dunia mengakui, bahwa dia ada, dia juga merupakan bagian dari manusia yang ada dan dia pun berhak hidup atas semuanya.

Namun mengapa? Ada orang membencinya sebegitu parah, sampai mereka ingin membunuhnya dengan sangat kejam.

"Astaga, ya Tuhan bagaimana bisa? Wajahmu mengapa?" tanya Namjoon menatap penuh khawatir pada wajah sang adik.

Ini yang Jimin takutkan sedari tadi kekhawatiran kakaknya lah yang membuatnya takut, takut sekali. Luka di wajahnya ini tidak bisa hilang dengan waktu cepat, walau sudah di obati tetap saja obat itu hanya menahan darah tidak kembali keluar dan juga mencegah infeksi yang akan terjadi kalau luka itu tidak menjadi sarang kuman. Kalau begini bagaimana Jimin menyembunyikan dari sang kakak? Dia masih ingin di sini dan tidak lagi pindah saat dirinya mendapatkan masalah.

Jimin menatap mata Namjoon dengan tatapan gemetarnya, bahkan air matanya meluncur begitu saja saat bertemu tatap pada kakaknya. Bibir tebal Jimin bergetar begitu kuat, ingin mengeluarkan suara saja tidak mampu bagi Jimin apalagi saat sang kakak langsung memeluknya membuat tangisan Jimin pecah seketika dan meremat baju kakaknya sangat kuat.

Jimin merasa terlindungi, pelukan hangat dari sang kakak memang yang dia inginkan saat ini.

"Apa yang terjadi denganmu, Adekku?" Namjoon mengecup pucuk kepala Jimin sayang, perkataannya sedikit bergetar saat mengucapkan namanya lalu mata penuh kepanikannya menatap langit penuh tanya dan dia berharap mendapatkan jawaban.

Namjoon yang memang sedari tadi khawatir karena saat pulang dia tidak melihat kehadiran adiknya di rumah, biasanya sang adik akan lebih dulu pulang dan menyiapkan makanan walau hanya mie cup ramen. Yang biasanya adiknya akan menyambut pulangnya dengan senyum manisnya, saat ini pertama kalinya bagi Namjoon melihat kesedihan adiknya menangis di depannya dengan tersedu-sedu.

Air mata pun tidak terasa mengalir di pipi Namjoon begitu saja, lalu dengan cepat dia mengusapnya kasar dan mengerjapkan beberapa kali matanya agar tidak kembali keluar.

Sebagai kakak dia merasa gagal, dia marah pada dirinya sendiri saat ini dia saja terus menerus merutuki dirinya di dalam benaknya.

Dengan pelan Namjoon melepaskan pelukannya pada Jimin, hatinya begitu sakit melihat Jimin penuh luka di saat dirinya sangat menjaga adiknya dengan baik malah orang lain semena-mena membuat luka di sana. Namjoon berjongkok di depan Jimin dengan kedua tangan berada di pundaknya, menarik napas dalam hanya untuk menahan air matanya agar tidak kembali keluar. "D—dengar ... Hahaha."

Hunting Time (Yoonmin Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang