22.

51 12 1
                                    






Mengeratkan kedua tangannya pada tali tasnya dengan kuat, dia menoleh memandang seseorang yang tepat di sebelahnya tengah tertawa lebar penuh dengan tatapan marah dan kecewa sangat besar. Tidak seperti yang lain, Kim Namjoon anak itu hanya diam menggerakkan kedua kakinya untuk berjalan dan menulikan telinga dari suara nyaring mereka yang tengah saling membuat candaan. Tidak seperti biasanya, Namjoon banyak diam selama sekolah berlangsung bahkan sampai sekarang dia tidak membuka suara untuk menimbrung temannya yang tengah begitu asyik.

Seokjin merasakan ada yang aneh akan sikap Namjoon saat ini.

Sebab sedari tadi Namjoon diam seribu bahasa, maupun di sekolah dan sudah pulang seperti saat ini. Karena lebih dari delapan anak berseragam sekolah menengah akhir, tengah berjalan pulang ke rumah masing-masing. Mereka sering sekali pulang bersama, walau mereka berada di kelas yang berbeda tidak masalah sebab mereka sekampung dan searah. Beramai-ramai itu menyenangkan daripada sendirian.

Kampung kecil ini letaknya, di ujung kota Gwangju, Buk-gu. Jauh dari hirup pikuk kota, dan begitu segar nan sejuk saat pagi hari tapi tidak untuk siang hari menuju petang. Karena pada saat itu, suasana lebih hangat dan cocok untuk jalan-jalan pada di sore hari.

Mendekat perlahan, Seokjin melihat ekspresi wajah Namjoon menegang menahan sesuatu terlihat dari kepalan tangannya pada tali tasnya. "Namjoon, kamu kenapa?"

Akibat isi kepala yang melayang memikirkan banyak hal, Namjoon tersentak mendengar panggilan pelan dari Seokjin membuatnya sedikit memekik tetapi tidak sampai membuat perhatian temannya teralihkan. Melihat Seokjin yang sepertinya juga ikut terkejut akan reaksinya, Namjoon tersenyum sekilas menggelengkan kepala sedikit agar Seokjin tidak lagi memandangnya penuh tanya.

"Tidak apa. Aku hanya sedikit ... pusing. Jadi aku ingin cepat-cepat pulang," jawab Namjoon yang awalnya tidak begitu yakin, tapi dia memberikan sebuah cengiran kikuk kepada Seokjin yang terus menatapnya selidik.

Seokjin berdeham lama, memandang penuh arti temannya dan membuat Namjoon gugup akan tatapannya yang begitu intens karena hal itu beberapa kali dia menghindari kontak mata dengan Seokjin dan melemparkan pandangan bingung. Namun tidak lama setelahnya, Seokjin berubah ekspresi khawatir bergerak cepat untuk memeriksa kening Namjoon menggunakan telapak tangannya. Benar. Panas, mungkin sahabatnya tengah demam kecil.

"Pantas kamu diam saja sedari tadi," ucapnya sendu setelah mengetahui hal sebenarnya. "Saat tiba di rumah, cepat tidur dan istirahat. Ya?"

Tidak perlu banyak berdebat atas keterdiamannya selama ini, karena sahabatnya pun mudah sekali di bohongi. Bukannya sengaja, tapi Namjoon benar-benar muak melihat wajah sahabatnya kalau mengingat ayahnya telah melakukan hal menjijikkan kepada ibunya. Dia benci, tapi masih bisa menyembunyikan hal sebenarnya itu dengan rapi membalas perkataan dari Seokjin dengan anggukan penuh dengan keyakinannya. "Tentu, aku akan istirahat penuh saat tiba di rumah."









.

.

.

.






Awalnya tidak tahu mengapa, dia sudah memegang pisau dapur penuh akan darah yang sudah mengotori baju dan kedua tangannya. Memandang penuh getar mengerikan hewan peliharaan ibunya, berjenis anjing pudel tergeletak di depannya dengan kepala sudah terpisah oleh tubuhnya bahkan buntut anjing itu beberapa menit masih bergerak dan berhenti sendiri tidak lama setelahnya. Hewan itu benar-benar sudah mati, di tangannya sendiri.

Namjoon tidak mengerti mengapa dia bisa melakukan hal itu semua di luar kendalinya, padahal tadi dia belajar membaca buku dan di temani oleh Moni—nama anjingnya—dan tiba-tiba sudah mati tepat di depan matanya.

Hunting Time (Yoonmin Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang