18.

44 10 4
                                    













"Nak, ayo makan sudah seharian ini kamu belum makan." Itu ibu Yoongi tidak pernah lelah membujuk Jimin walau sang empu tidak ada respon sama sekali.

Jimin berada di kasurnya, tengah terbaring membelakangi pintu masuk saat ibu Yoongi membuka pintu hal pertama di sambutnya hanya punggung rapuh Jimin. Beberapa jam lalu saat Jimin tersedu-sedu di meja makan, ibu Yoongi langsung memeluknya tanpa bertanya dan membuka suara dia hanya memberikan kehangatan untuk menenangkan anak itu. Mendengar suara tangisan yang terdengar sangat pilu itu, membuat ibu Yoongi juga ikut menangis seperti merasakan sakit apa yang tengah di alami olehnya padahal dia sama sekali tidak tahu cerita yang sebenarnya.

Mungkin itu benar-benar menyakitkan, untuk orang yang mengalami hal itu amat sangat terluka baginya.

Ibu Yoongi juga tidak ingin menggali lebih dalam hanya untuk rasa penasarannya, dia tidak sanggup kalau melihat anak itu meneteskan air matanya lagi di saat matanya telah begitu bengkak. Sebagai seorang ibu, dia tidak tega melihatnya. Dia hanya ingin memberi kehangatannya, melindunginya dan mungkin bisa merawatnya selama dirinya masih bernapas.

Dia akan berikan semuanya, di saat anak itu membutuhkannya.

Dengan tersenyum kecil, ibu Yoongi sudah duduk di tepian ranjang meletakkan piring yang berisi makanan itu di laci. Lalu dia, mengecek anak itu yang sama sekali tidak tidur dan hanya menatap kosong lurus pada tembok di hadapannya. "Kamu tidak tidur? Mata kamu bengkak Nak."

Jimin menghela napas sembari memejamkan matanya, tapi tidak lama kemudian dia kembali membuka kelopaknya dan menggeleng pelan untuk memberi jawaban kepada ibu Yoongi.

"Ibu turun ke bawa dulu ya," pamitnya yang sebelum pergi mengelus lembut paha Jimin, hanya ingin memberi tahu bahwa dia tidak sendirian di sini.

Mendengar pintu yang tertutup kepala Jimin bergerak, memandang benda itu dengan tatapan dalam yang tersirat akan kekecewaan sebab orang-orang akan pergi meninggalkannya tanpa kembali lagi. Berharap pada manusia memang salah besar, karena akan mendapatkan rasa kekecewaan dan kesedihan yang amat mendalam. Contohnya, Kim Namjoon. Karena Jimin telah sangat tergantung olehnya, tidak bisa lepas walau sedetikpun pun terlalu menyayanginya sampai tidak sadar bahwa Namjoon adalah monster selama ini.

Dia membunuh teman-temannya, dan juga orang tua mereka.

Jimin cukup dewasa dan logika untuk mengetahui semuanya, karena orang tuanya tidak meninggal akibat kecelakaan tetapi di bunuh secara brutal pun menggila.

Lagi-lagi air mata itu kembali mengalir pelan membasahi pipinya, hatinya benar-benar seperti di genggam begitu erat sampai tidak bisa bernapas dengan baik. Jimin baru sadar, dan bodohnya dia tidak mengetahui monster itu begitu dekat dengannya pun mungkin sewaktu-waktu dia juga akan mati di tangannya.

Kain basah menyentuh kulit Jimin di bagian pinggiran matanya, hal yang tiba-tiba itu membuat Jimin terkejut sebelumnya dirinya memejamkan matanya untuk menenangkan pikiran. Kini terbuka dan menatap seseorang yang telah melakukan hal ini kepadanya, Jimin pun melihat sosok ibu yang tengah tersenyum lebar dengan tangannya terus mengusap lembut kulit Jimin.

"I—Ibu?" Jimin menahan pelan pergerakan ibunya Yoongi, dengan tatapan mata merasa tidak enak akan hal ini dia tidak perlu melakukannya. "Ibu tidak usah, aku baik-baik saja."

Ibunya Yoongi sedang menahan gemas, untuk tidak mencubit pipi anak yang tengah memandanginya dengan tatapan memohon. Mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dengan mata sembab dan permasalahan yang tengah menimpanya. Dirinya tidak tahu, sekuat dan setegar apa pemuda ini menghadapi segalanya. "Kamu itu luar biasa, Jimin. Sangat-sangat luar biasa."

Hunting Time (Yoonmin Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang