1

359 42 5
                                    

Tujuh tahun kemudian

Langit sedang menangis. Tanah basah mengotori sepatu-sepatu yang menapak di atasnya. Payung-payung hitam seolah menjadi atap sementara bagi para manusia berpakaian hitam.

Seorang pria omega menatap sendu batu nisan di bawahnya. Tertulis "Erwin Smith". Suaminya kini sudah tidur dengan tenang di bawah sana. Satu per satu pelayat berpamitan dan pulang. Hujan tidak menunjukkan tanda-tanda reda. Saat semua orang sudah pergi, kini tersisa dua orang. Seorang pria alpha mendekati omega tersebut dan melindunginya dari hujan dengan payung.

"Levi, ayo pulang." Ucap pria alpha tersebut.

Levi menatapnya. Sorot kesedihan terpancar jelas di matanya. "Tapi, ayah, Erwin—"

"Dia sudah beristirahat, Levi. Ayah yakin dia juga sudah lelah melawan kankernya."

"Begitu, kah?" Levi kembali menatap nisan milik suaminya.

Alpha tersebut merupakan ayah Erwin. Ayah mertua Levi. Orang yang Levi anggap sebagai ayahnya sendiri. Bahkan orang ini juga menyayangi Levi seperti ia menyayangi Erwin.

Mereka pulang bersama. Ini adalah hari yang sangat berat. Erwin sudah berjuang melawan kanker paru-paru selama bertahun-tahun hingga kemarin Erwin menghembuskan nafas terakhirnya di dekapan Levi. Kata-kata terakhir yang Erwin ucapkan kepada Levi adalah "Berbahagialah, Levi!"

Erwin tahu Levi dipaksa menikahinya karena ibu Levi, yaitu Kuchel, ingin kehidupan Levi dan dirinya membaik. Selama tujuh tahun menikah, Erwin dan Levi memang menjalankan kewajiban mereka sebagai suami istri, tapi hubungan mereka malah seperti saudara. Erwin dan Levi pernah melakukan hubungan intim sekali dan itu malah membuat keduanya canggung. Tidak ada rasa cinta sebagai suami-istri, adanya rasa cinta sebagai saudara.

Ayah Erwin juga sangat menyayangi keduanya. Ia memperlakukan Levi dan Erwin setara seolah-olah jenis kelamin bukan penghalang untuknya mengasihi Erwin dan Levi. Ia adalah ayah yang sangat mendukung keputusan kedua pasangan suami-istri tersebut. Itulah yang membuat Levi betah bersama mereka. Tapi kini mereka telah kehilangan Erwin. Dunia mereka seakan runtuh.

Sesampainya di rumah, Levi meminta ayah mertuanya untuk beristirahat. Mereka tidak bisa tidur dari kemarin dan itu tidak baik untuk kesehatan ayahnya yang sudah sangat tua. Setelah ayah Erwin pergi ke kamarnya, Levi langsung menjatuhkan dirinya di sofa. Ia menatap kumpulan berkas di atas meja kopi. Erwin berniat memberikan perusahaannya kepada Levi kalau Levi mau. Levi tidak yakin. Ia kuliah di bidang bahasa dan menjadi direktur utama di perusahaan properti tidak pernah terlintas di benaknya.

Levi mendesah lelah. Ia menata berkas-berkas itu dan merapikan meja kopi. Saat ini dia butuh istirahat. Levi sangat kelelahan. Masih dengan pakaian yang ia pakai untuk mengantar Erwin ke tempat peristirahatan terakhirnya, Levi terlelap di sofa.

.

"Levi? Levi?"

Levi membuka matanya. Terlihat wajah khawatir ayah mertuanya. Levi segera menegakkan tubuhnya.

"Iya, Ayah?"

"Kenapa kau tidur di sini? Ini sudah hampir musim dingin, kau tahu? Kau bisa sakit."

Levi menatap sekitar. Sekarang dia ingat kenapa dirinya tertidur di tempat yang kurang nyaman.

"Maaf, Yah. Aku hanya..." Levi menatap meja kopi, "melihat-lihat surat wasiat Erwin."

Ayah Erwin menghela nafas. "Baiklah. Kau mau makan apa?"

Levi menggeleng. "Sebenarnya aku kurang nafsu makan. Apa ayah mau makan? Aku yang akan memasak." Levi beranjak dari kursinya. Saat menyadari tidak ada jawaban dari alpha tua tersebut, Levi memiringkan kepalanya.

Separated HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang