16

227 29 8
                                    

Pagi hari di kantor terlihat biasa. Orang-orang berlalu lalang membawa dokumen penting. Beberapa pekerja nampak membuat minuman untuk diri mereka sendiri. Benar-benar sangat normal.

Levi sedang mencatat jadwal Eren untuk satu bulan ke depan. Mata indah tertutup lensa beberapa kali menajam dan melembut ketika membaca tulisan di layar komputer dan tulisannya sendiri. Bulan ini mereka akan lebih sibuk dari biasanya. Dua proyek Eren berjalan bersama-sama dan bisa dipastikan ada kalanya mereka menginap di kantor.

Sebuah gelas kertas dengan teh hitam diletakkan di mejanya. Levi mengerutkan kening dan menoleh. Eren, orang yang memberinya teh hitam tersenyum berwibawa. "Pagi, Levi."

"Pagi." Levi menggenggam gelasnya. "Untukku?"

Eren mengangguk. "Tentu saja. Hanya kau yang duduk di sini."

"Terima kasih, tapi," Levi menggeleng, "seharusnya kau tidak melakukan ini. Aku yang seharusnya membuatkanmu minuman."

"Santai saja, Levi." Eren terkekeh. "Lagipula, ini terakhir kalinya aku akan membuatkanmu minuman."

Hening. Levi tidak mengerti. Ia menatap gelas dan Eren bergantian. "Maksudnya?"

Eren mengambil sebuah amplop dari jasnya. Ia berikan amplop itu kepada Levi. "Dari HRD atas perintahku."

Levi berkeringat dingin. Ia ambil amplop itu dengan tangan bergetar. Di atas amplop tidak ada tulisan apapun. Levi menatap Eren lagi.

"Kalau kau terlalu sungkan membacanya, yah, singkatnya aku memecatmu."

"Apa?" Levi membulatkan mata.

Eren hanya mengangkat kedua bahunya dan berjalan santai ke ruang pribadinya. Levi menatap amplop tersebut tidak percaya. Ia menggeleng dan beranjak. Tanpa repot mengetuk pintu, Levi melesat masuk ke ruangan Eren.

"Eren, kenapa?"

"Yah, aku ingin mencari asisten baru, yang lebih mampu."

"Aku tidak mampu dalam hal apa? Aku membuatkanmu jadwal untuk satu bulan. Setiap kau ada pertemuan di luar, aku selalu memesankan meja. Aku juga selalu mengikuti pertemuan dengan kolega penting. Apa yang membuatmu berpikir aku tidak mampu?" Tanpa sadar, Levi mengeluarkan air mata. Omega tersebut tidak habis pikir kenapa Eren bisa setega ini padanya. Eren yang menawarkannya pekerjaan, dia juga yang memecatnya.

Eren membulatkan matanya. Levi menangis histeris. Beranjak dari kursinya, Eren menghampiri Levi dan memeluknya.

"Hei, hei, ini tidak seperti yang kau pikirkan."

"Lalu apa? Kau menemukan orang yang lebih menarik dari aku?"

"Tidak."

"Lalu apa?" Levi berteriak.

"Dengarkan dulu. Hei," Eren mengusap pipi Levi dan menghapus air matanya, "tenangkan dirimu dulu."

Levi menuruti apa kata Eren. Ia menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. Eren mengusap punggungnya.

"Dengar, aku hanya bercanda. Tapi aku memang harus memecatmu— jangan disela!" Eren menekan jari telunjuknya pada bibir Levi saat Levi hampir menyelanya. "Kau sedang hamil. Aku tidak ingin kau kelelahan. Ingat, mulai saat ini perusahaan kita sangat sibuk."

Levi mendengarkan dengan seksama. Isakan kecil masih keluar dari mulutnya, tapi air sudah tidak mengalir deras lagi.

"Aku tidak ingin kau dirawat di rumah sakit lagi, Levi. Yang kemarin itu hampir membuatku gila. Kau cukup diam di rumah, menungguku pulang, memasak untukku, dan aku yang akan mencari nafkah. Itu kewajiban. Jadi, kau mau menerima keputusanku?"

Levi kembali menangis. Kali ini ia menangis haru. Niat Eren sangat baik. Walaupun kata ayah Erwin omega bisa bekerja, tapi dengan Eren, Levi sudah merasa setara. Eren orang yang tidak memaksanya untuk bersikap sebagai omega secara ketat. Bagi Levi itu cukup. Ia pun mengangguk.

Eren menyatukan kening mereka. Levi langsung melingkarkan kedua lengannya di leher Eren ssmentara Levi mengelus pipinya lembut. Mereka berbagi kasih sayang untuk terakhir kalinya di kantor, karena besok Levi sudah tidak akan kembali ke meja kerjanya.

.

Mobil hitam memasuki kawasan runah besar. Tepat di depan pintu garasi, mobil berhenti. Dua orang berbeda jenis turun.

"Wow, ini besar!" Puji omega berambut hitam.

Alpha berambut cokelat mendengus bangga. "Ini seleraku."

"Terserah kau." Omega tersebut mendekati alphanya. Mereka bergandengan tangan dan masuk ke rumah.

Pintu dibuka, Eren dan Levi masuk bersama. Levi kembali kagum dengan isi rumah tersebut. Eren menutup pintu dan berjalan ke sampingnya.

"Dua lantai. Aku harap kau lebih berhati-hati saat naik turun tangga. Sampai kau melahirkan, kita akan tidur di kamar tamu. Ada tiga kamar di lantai dua, salah satunya adalah kamar kita."

Levi mengangguk paham. Levi bisa melihat lantai dua dari tempatnya berdiri. Rumah ini sangat luas, bahkan bisa digunakan untuk bermain.

"Selamat datang di rumah, kurasa." Eren tersenyum kecil.

Levi memutar badannya dan memeluk Eren. Bibir Eren dikecup singkat. "Terima kasih banyak."

Eren melingkarkan lengannya pada pinggang Levi. Hidung mereka digesek lembut sambil terkekeh ringan.

"Kita mulai dari lantai atas?" Tawar Levi.

"Tentu."

Pelukan dilepas. Levi melingkarkan lengannya pada lengan Eren. Mereka berjalan berdampingan menaiki tangga sambil mengagumi setiap sudut rumah. Ada tiga kamar di lantai dua seperti kata Eren. Setiap kamar memiliki kamar mandi dan balkon yang menghadap ke taman belakang. Ada juga balkon yang menghadap ke depan rumah. Mereka menelusuri setiap kamar. Levi cukup terkesan. Eren membuat semua kamarnya sama, hampir tidak ada perbedaan yang sangat jelas seolah-olah setiap kamar mencerminkan kasta dalam rumah. Semuanya sama.

Mereka selesai memeriksa lantai atas. Keduanya turun masih dengan lengan Levi melingkari lengan Eren. Lantai bawah tidak hanya ada kamar. Semua ruangan lengkap ada di sini, mulai dari ruang tamu, ruang keluarga, dapur, ruang makan, kamar mandi, ruang cuci, bahkan ada tempat bermain.

Beralih dari lantai satu, mereka pergi ke taman belakang. Levi kembali terkesima. Ada ayunan, kebun bunga, kolam renang, bahkan ada beberapa permainan anak-anak.

"Berapa uang yang kau keluarkan untuk rumah ini?" Satu pertanyaan yang sangat Levi ingin tahu jawabannya.

"Hmm... Tidak banyak."

"Untuk seukuran orang kaya?" Levi menyindir. Sesuatu yang menurut Eren tidak terlalu mahal justru bisa meembuat Levi pingsan.

Eren tertawa mendengarnya. "Bukan. Untuk seukuran orang beruntung lebih tepatnya." Pipi Levi dielus lembut. "Aku beruntung memilikimu. Aku sekarang bisa memiliki rumah dengan kekasihku."

Hati Levi menghangat. Kata-kata Eren terdengar sangat lembut dan penuh cinta. Levi memiringkan kepalanya, meletakkan sisi wajahnya pada pundak Eren.

"Sebenarnya aku mengincar rumah ini sejak lama. Aku senang kau mau menjadi istriku dan mengizinkanku membeli rumah ini."

"Dasar." Punggung Eren ditepuk keras. Eren tertawa kencang sementara Levi terus menendangi kakinya.

"Aw! Aw!" Eren berusaha menghindar. "Iya, Sayang. Maaf. Tapi itu benar."

Levi berhenti menendang. Ia melipat kedua lengannya di dada dan memalingkan wajah.

"Aku lapar. Ayo pesan makan."

Eren mengabaikan kekesalan Levi yang mana membuat Levi semakin kesal. Tapi, Levi tidak menghentakkan kakinya ke lantai, melainkan mendorong bahu Eren dan menangis.

"Kau tidak sayang aku lagi."

Eren kelabakan. Sepertinya Eren harus belajar bahwa omega hamil itu sangat sensitif dan mudah marah. Eren tidak dapat menahan godaan untuk menggoda Levi, tapi melihat Levi menangis membuat Eren berpikir dua kali jika ingin bercanda.

.

To be continue

Separated HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang