13

256 37 8
                                    

Sudah larut malam. Levi masih menetap di hotel. Ponselnya belum dihidupkan. Levi terlalu takut mendengar suara Eren, atau mendengar kenyataan yang lebih menyakitkan.

Omega manis tersebut belum makan sejak tadi pagi. Entah kenapa, Levi bisa seegois ini terhadap anak yang tengah ia kandung saat ini. Levi menghindari semuanya. Levi tidak ingin memikirkan sesuatu tapi dia malah membuat dirinya kelaparan.

Levi bisa saja memesan pelayanan kamar untuk mengantar makan malam ke kamarnya, tapi tidak. Levi bahkan tidak ingin menyambung nyawanya. Hatinya sakit memikirkan Eren melakukan seks dengan Historia dengan atau tanpa alasan apapun. Mereka sudah melakukan bounding, seharusnya tidak ada yang bisa memisahkan mereka kecuali kematian, bukan istri alphanya.

Levi teringat sesuatu. Seharusnya inilah yang terjadi. Eren seharusnya bersama Historia, hidup bahagia dengannya. Levi orang ketiga di antara mereka. Ia pantas mendapatkan ini. Mungkin jika Levi bunuh diri, maka Eren juga akan terbunuh. Dengan itu, Eren juga akan terpisah dari Historia.

Levi merogoh tasnya. Ia hendak menulis surat terakhirnya di buku catatan. Tapi Levi lupa, buku catatannya sudah dikeluarkan tadi. Levi beranjak dari kasur untuk mencari kertas dan pensil. Tidak ada. Levi berdecak malas. Satu-satunya yang bisa ia gunakan adalah ponselnya.

"Sebentar saja. Setelah itu tidak terpakai lagi." Gumam Levi pada dirinya.

Levi mengambil ponselnya. Ponsel dihidupkan, Levi menunggu proses hidup ponselnya. Seandainya hidup seperti ponsel ini, bisa dihidupkan dan dimatikan. Levi bisa hidup dan mati. Tapi dia hanya mempunyai satu kesempatan hidup dan mati di dunia ini. Sayang sekali.

Sesuai dugaan Levi, ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan dari Eren. Bahkan beberapa teman kantornya menanyai keberadaannya. Levi mengabaikan itu semua dan membuka catatan di ponselnya.

Baru saja Levi menulis satu kata, pintu kamar diketuk dari luar. Levi mendesah gusar. Ada-ada saja orang yang mengganggunya. Dengan langkah menghentak, Levi berjalan ke depan pintu. Siapapun itu Levi berjanji akan membentaknya.

Pintu dibuka. Belum sempat Levi berteriak, sepasang lengan kokoh melingkari tubuhnya diikuti oleh dagu yang menempel di bahunya.

"E-Eren?"

"Levi, astaga." Eren terisak. "Kukira aku akan kehilangan dirimu."

Levi mengerjab. Di lorong hotel, Levi melihat ada beberapa polisi dan teman kerjanya. Bahkan Isabel ada di sana dengan mata sembab.

"Apa yang kau pikirkan?" Eren melepas pelukan dan menatap Levi. "Aku sudah bilang untuk menungguku di apartemen. Kenapa kau malah kemari, hah?"

Entah kenapa, pandangan Levi memburam. Perlahan suara Eren mengecil dan tubuhnya terasa ringan. Levi mendengar teriakan orang-orang sebelum kesadarannya hilang.

.

Eren pernah merasa ia berada di titik terlemah pada hidupnya. Pertama saat Levi menikahi orang lain tanpa memberinya undangan. Kedua saat kedua orang tuanya meninggal. Lalu yang ketiga adalah saat ini.

Sejak pagi setelah meminta Historia pulang, Eren segera ke apartemennya. Levi tidak ada di sana yang mana membuat Eren cemas. Ia berusaha menghubungi Levi tapi tidak dijawab. Eren menanyakan beberapa karyawannya mengenai Levi dan tidak ada yang melihat kekasihnya.

Tanpa basa-basi lagi, Eren mengunjungi kantor polisi untuk melacak keberadaan Levi. Nomor telepon Levi tidak terdeteksi oleh polisi. Yang mereka lakukan setelahnya adalah mengecek kamera pengawas tempat itu. Mereka melihat Levi berlari cepat dan memasuki sebuah kawasan rumah penduduk yang sangat sedikit kamera pengawas. Mereka kehilangan jejak Levi.

Separated HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang