Langit sudah mulai terang saat Putra kembali ke tempat kos setelah mengikuti kajian selepas Subuh. Dia mengaktifkan ponselnya, lalu mengecek pesan-pesan yang masuk sejak semalam.
Ada pesan di grup kelas yang membicarakan tentang tugas. Ada pesan dari Rara, berisik seperti biasa. Ada pula pesan dari Aziz, menanyakan ketidakhadirannya di masjid al-Barkah beberapa hari belakangan.
Putra memang berhasil menghindari pria itu beberapa hari ini. Dia mencari masjid lain yang lumayan jauh, beralasan mengikuti kajian Subuh. Dia juga sengaja pergi mencari materi untuk skripsinya selepas Asar hingga lewat Isya agar punya alasan untuk tidak salat Isya di masjid Al-Barkah.
Dia berharap Aziz tidak merasa bahwa dia menghindarinya. Dia tidak ingin membuat pria tersinggung, atau khawatir. Hatinya yang salah, padahal pria itu sangat baik padanya.
Tidak ingin pikirannya kembali tersita oleh pria itu, Putra membalas sekenanya dan beralih pada pesan dari Rara.
Tidak ada pesan penting yang perlu dibalas. Cewek itu memenuhi pesannya dengan pesan tak penting.
Dasar.
Anehnya, belakangan ini dia tidak merasa keberatan menanggapi cewek itu. Cewek itu masih sering menguji kesabarannya, tapi Putra tak lagi mengusirnya.
Dia sadar, dia melihat dirinya sendiri dalam sosok gadis itu. Mirip, tapi bertolak belakang.
"Lhoo? Emangnya ada larangan jurusan lain main ke gedung jurusan Bahasa Jerman?"
Putra yang sedang menyusuri lorong menuju kelasnya menghentikan langkah saat mendengar suara yang familier. Suara cempreng Rara.
"Nggak sih, Ra.... Tapi, maaf nih, suara lo kan kenceng banget. Jadi ganggu...."
Terdengar suara perempuan lain yang juga cukup familier di telinga Putra. Salah satu teman jurusannya. Lorong yang semula sepi mendadak riuh. Putra menarik napas antara ingin, tapi juga tak ingin mengetahui apa yang terjadi.
"Gue ke sini kalo jam kosong doang kok, bukan jam kuliah. Ya maap maap aja kalo suara gue cempreng membahana gini. Tapi, paling nggak gue nggak ganggu kelas!" Rara terdengar membela diri.
Suara decakan, lalu sebuah suara perempuan lainnya yang lebih pedas.
"Udah, nggak usah muter-muter kalo ngomong sama dia. Langsung aja!" Jeda sejenak. "Gini ya, Non, lo jelas-jelas ganggu Putra. Putra tuh merasa keganggu sama keberadaan lo!"
Alis Putra terangkat mendengar namanya disebut-sebut. Tadinya ia pikir ini bukan urusannya, tapi sepertinya ia perlu mendengar lebih jauh. Maka dia menghentikan langkahnya dan memberi jarak agar mereka tak menyadari keberadaannya bersandar di balik salah satu tiang di koridor.
Terdengar gelak tawa Rara. "Ya, ampuun! Bilang aja kalian jealous!" Riang sekali cewek itu membalas. "Sebelumnya, waktu gue sering diusir Putra, kalian santai-santai aja, tuh! Sekarang, Putra jarang ngusir gue, kalian jadi panik, yaaa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan Jalan
Spiritual⚠️ WARNING! 18+ Baca dengan bijak Cerita LGBT! Flaithri Putra Ravi : Gue jatuh cinta sama dia. Abang yang nggak cuma saleh, tapi juga baik hati. Sayang, Bang Aziz udah punya istri dan satu orang anak balita yang lucu banget. Gue nggak mungkin mer...