Bab 24 - Kekacauan yang Memuncak

766 130 63
                                    

Putra merasakan dadanya bergemuruh. Ada sesuatu yang mendesak keluar dari perut naik ke dada. Napasnya memburu dan jemarinya mengepal keras ketika satu ayunan tangan kanannya langsung menghantam pipi kiri Aziz sekeras-kerasnya. Lalu, tanpa memastikan kondisi pria itu, Putra bergegas lari ke luar taman, menuju pangkalan ojek terdekat.

Tanpa menawar tarif, Putra menyebutkan alamat rumah Bunda di Bekasi. Tak dipedulikannya penampilannya yang masih bersarung dan baju koko. Selain baju koko dan sarung yang melekat di tubuhnya, yang ia bawa hanya dompet—kebetulan tadi dia berniat mampir ke mini market sepulang salat. Bahkan handphonenya dia tinggal begitu saja di tempat kos. Yang dipikirkannya sekarang hanya pulang ke rumah, menjauh sejauh-jauhnya dari Aziz.

"Lho? Katanya malam ini mau nginap di kosan?" tanya Rafanda saat membukakan pintu.

Putra memaksakan senyum. "Iya, Bun. Putra berubah pikiran," jawabnya.

Rafanda tahu ada sesuatu yang terjadi hingga Putra tiba-tiba pulang begini. Terlebih lagi, penampilan Putra sekarang terlihat seperti baru saja pulang salat. Namun, melihat Putra enggan bercerita lebih lanjut, Rafanda memilih untuk memberi putranya waktu. 

"Oh gitu…. Kamu mau makan? Masih ada sop di kulkas, tinggal Bunda panaskan," tawar Rafanda. 

Putra menggeleng. "Nggak usah, Bun. Putra nggak laper, kok."

Rafanda kembali mengangguk mafhum. "Ya udah, kalau gitu. Kamu istirahat aja. Kalau perlu sesuatu sama Bunda, ketuk aja pintu kamar Bunda ya."

Putra tersenyum, kali ini dengan tulus. "Iya, makasih, Bunda…."

***

Sesampainya di kamar, Putra menjatuhkan dirinya ke ranjang, menatap langit-langit kamarnya.

Setelah melayangkan tinjunya tadi, otak Putra seolah beku. Dia membiarkan insting dan hatinya yang bekerja, menuntunnya kembali ke rumah. Kini, setelah otaknya kembali, Putra mencoba mencerna kejadian yang baru saja dialaminya.

Aziz bilang, Aziz bisa merasakan bahwa Putra menyukainya. Sejak kapan? 

Aziz pun berkata bahwa Aziz juga menyukainya. Itu juga sejak kapan?

Putra mencoba mengingat-ingat interaksi mereka selama ini. Dirinya yang mengagumi Aziz, yang menyukai Aziz, benarkah bisa terlihat jelas oleh pria itu? Apakah ada orang lain yang menyadarinya juga?

Saat mengingat kembali interaksi mereka, perlahan Putra menyadari perhatian-perhatian khusus yang ditujukan oleh Aziz kepadanya. Selama ini dia selalu denial, menepis kemungkinan bahwa Aziz punya perasaan khusus padanya. Namun sekarang, semuanya terasa masuk akal.

Aziz benar-benar menyukainya!

Wajah Putra tiba-tiba merasa panas saat menyadari bahwa perasaannya bersambut. Lalu, kejadian tadi…. 

Putra menyentuh bibirnya.

"Astagfirullahaladzim!" Dia segera beristighfar. Berulang-ulang kemudian menggosoknya sekeras-kerasnya seolah berusaha menyingkirkan noda yang membandel dari sana. 

Tidak bisa! Itu bukan hal yang bagus! Rasanya masih jelas menempel di sana!

Putra bergegas bangkit dari kasurnya, menuju kamar mandi untuk berwudu. Berkali-kali dia membilas bibirnya, berusaha mengenyahkan perasaan yang tersisa. Setelahnya, pemuda itu melakukan salat tobat.

Malam itu, Putra menghabiskan waktu di atas sajadah dalam gelap. Dia seolah takut melihat tubuhnya sendiri. Pemuda itu memohon ampun atas segala khilafnya, kebodohannya, kelalaiannya. Berdoa pada Yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk dan kekuatan untuk menjalani ujian orientasinya. Juga meminta diberi petunjuk bagaimana harus menghadapi Aziz ke depannya.

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang