Bab 6 - The Past that Haunt Us

740 146 74
                                    

Setelah mengucap salam di chat, Rara mengerjap-ngerjapkan mata. Untuk beberapa saat dia menggulir jejak chat-nya bersama Putra. Senyum lebar tak bisa hilang dari wajahnya. Demikian pula senandung yang meluncur mulus dari bibir merah yang terus tertarik ke atas itu.

Di kamarnya yang luas dan penuh dengan barang-barang yang berserak, Rara bergerak menuju salah satu laci dan membukanya. Dikeluarkan sebuah pigura berukuran 10R. Ada foto Rara dirangkul seorang pemuda berusia dua puluhan yang tengah tersenyum.

Rara membelai kaca yang membatasinya dengan penuh perasaan.

"Dia ngebalas chat-ku lho, Kak!" Mata Rara berbinar-binar sambil memandang foto pemuda yang cukup tampan itu. Mata laki-laki itu sayu meski senyum tipis terukir. Ada kantung mata menghitam di bawah matanya. Pipinya yang sedikit cekung membuat kesan suram.

Padahal, dulu dia tak begitu.

Pikiran Rara terlempar satu tahun yang lalu ketika, Tara, kakak kandung sekaligus saudara sedarah satu-satunya yang Rara miliki mendadak mentraktirnya di salah satu kafe kue cokelat kekinian.

Pikiran Rara terlempar satu tahun yang lalu ketika, Tara, kakak kandung sekaligus saudara sedarah satu-satunya yang Rara miliki mendadak mentraktirnya di salah satu kafe kue cokelat kekinian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wah, tumben, nih! Ada apa?!" Rara memandangi tiramisu cokelat ukuran sedang di hadapannya. Pasti tidak murah. Bahkan parfait pun sudah dipesan dan akan diantar datang jika tiramisunya sudah hampir habis dimakan.

"Syukuran udah sebulan gue nggak merokok, nggak anu juga." Suara Tara memelan.

Rara tersedak tiramisu yang ditelannya karena tertawa. "Anu sekali, ya?" Pertanyaan retorik yang tidak membutuhkan jawaban apa pun. Karena Rara tahu apa yang dimaksud Tara barusan.

Sementara itu, Tara memandang ke sekeliling. Nuansanya kafe yang bernuansa shabby chick itu kini lengang karena memang di jam dan hari kerja. Anak-anak sekolah tidak biasa makan di sini karena harganya cenderung tidak cocok untuk kantong pelajar.

"Lo seneng?" Pertanyaan pertama setelah Tara kembali menoleh pada adiknya.

Rara mengangguk senang. "Lo nggak makan? Lagi diet?" goda Rara.

Yang digoda hanya terkekeh kecil. Dia justru meminta Rara memanggilnya tanpa sebutan 'Kakak'. Entah baginya justru terasa lebih akrab. "Diet anu!" balasnya kemudian.

"Hadeuh...." Tawa Rara berderai.

"Ra, tapi gue serius, nih. Lo harus janji ke gue kalau nggak akan pernah clubbing lagi!" Kali ini Tara menatap adiknya tajam seolah memberi peringatan keras, tapi juga diselimuti kasih sayang.

"Iyaaa... gue janji! Lagian, gue clubbing cuma buat caper ke lo doang, kok. Biar lo seret gue pulang." Dia tergelak mengingat kelakuannya sendiri. "Lagian juga, puyeng clubbing mah! Ajeb-ajeb gitu kelap-kelip. Belum berisik banget. Lo dulu kok tahan banget, sih?!" Rara bergidik.

Tawa getir Tara menjadi jawaban. Mata sayunya mengenang betapa diskotik sempat menjadi rumah keduanya. Bagaimana dirinya mengais minuman untuk mengusir rasa haus karena kesunyian yang menyelimuti rumah mereka.

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang