Hari yang setengah ingin dilupakan, setengah dinanti oleh Putra telah tiba. Separuhnya dia sedikit menyesal telah tidak bisa ikut kajian bersama Aziz. Namun, separuh lagi lega karena hari ini, dia bertekad akan berterus terang pada Bunda.
Salat istikharah telah membuatnya mantap untuk melanjutkan niatnya untuk berterus terang. Rara bilang, kalau saja ada satu support system yang paling andal muncul, InsyaAllah dirinya akan lebih mudah berhijrah.
Perasaannya pada Aziz bukan sesuatu yang bisa ditangani sendiri. Dia butuh pendukung yang selalu setia mengingatkannya tetap di jalan yang diridai Allah.
Bunda adalah orang pertama yang menempati wilayah khusus di hatinya. Bagi Putra, pendapat Bunda adalah segalanya.
Rara dan Raja mungkin akan selalu mendukungnya dalam berhijrah, tapi jika Bunda hadir, maka InsyaAllah semua akan lebih baik.
"Bun ... hari ini dua teman Putra mau datang." Putra membuka topik ketika selesai sarapan dan mencuci piring di belakang.
"Cewek atau cowok?" tanya Bunda meski Bunda hampir yakin bahwa Putra akan menjawab cowok.
"Um... satu cowok satu cewek."
Bunda mengangkat satu alisnya kaget. "Ada ceweknya? Pacarnya Raja?"
Bunda menebak begitu karena semenjak SMA, hanya Raja yang pernah datang ke rumah untuk main. Putra memang tipe yang jarang punya teman dekat. Sebelum Putra dekat dengan Raja, Bunda hanya pernah menjamu teman-teman Putra yang datang untuk mengerjakan tugas kelompok.
Putra menggeleng.
Tangan Bunda yang sedang membilas piring terakhir langsung terhenti. "Jangan-jangan...."
"Bukan!" Putra memutar bola matanya sudah bisa membayangkan apa yang akan Bunda katakan selanjutnya.
"Oh, belum." Bunda menahan senyum ketika melanjutkan kegiatannya, sementara Putra menarik napas dan memilih mengikat kantong sampah dan bersiap membuangnya ke depan.
Ketika Putra baru saja menutup tong sampah, suara melengking Rara terdengar.
"ASSALAMUALAIKUM, FLAIIII! MasyaAllah calon suami idaman beberes rumah!" Rara melepas helmnya riang.
"Emang Puput ini terbaek, Ra! Jangan dilepasin!" Raja menghebohkan suasana ketika menerima helm Rara dan menyantelkannya ke dalam jok.
"Kalian berdua naik motor ke sini? Bukan mahram, tau!" Putra menggerutu. Namun, sesaat dia teringat bagaimana dia dan Aziz naik motor berdua waktu itu. Sungguh berbahaya!
"DIA CEMBURU, JAAAA!!!" Rara justru terlihat riang.
"Tuh, ide gue brilian, 'kan?" Raja menaik-turunkan alisnya dengan bangga.
Rara mengangguk-angguk, tapi langsung panik ketika melihat Putra memilih mengabaikan keduanya dan melangkah masuk ke rumah.
"Ada yang ramai. Teman-teman kamu sudah datang?" Bunda tiba-tiba menyusul di depan pintu saat mendengar suara heboh dari luar rumah.
"Assalamualaikum, Tante! Perkenalkan, saya Mahira Rania, biasa dipanggil Rara. Saya calon istrinya Flai."
Putra langsung tersedak mendengar perkenalan Rara yang ajaib luar biasa.
"Jumpa lagi, Tante. Saya pendukung kapal Rara dan Puput, eh, Putra." Pemuda itu terkekeh dan mengatupkan tangan di depan dada seolah tahu Bunda tidak menjabat tangan yang bukan mahram.
Bunda tersenyum. "Masuk dulu! Put, ajak teman-temanmu ngobrol. Bunda buatin es sirup sama bakwan goreng."
"Oh, nggak usah repot-repot, Bunda!" Rara tampak tidak enak.
![](https://img.wattpad.com/cover/291404636-288-k765140.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan Jalan
Spiritual⚠️ WARNING! 18+ Baca dengan bijak Cerita LGBT! Flaithri Putra Ravi : Gue jatuh cinta sama dia. Abang yang nggak cuma saleh, tapi juga baik hati. Sayang, Bang Aziz udah punya istri dan satu orang anak balita yang lucu banget. Gue nggak mungkin mer...