Bab 9 - Antara Baper dan Nggak Boleh Baper

729 121 179
                                    

Waktu istirahat tersisa dua puluh menit lagi. Meski sudah menyelesaikan makan siangnya, alih-alih kembali ke ruangan, Aziz memutuskan berlama-lama di luar, tempat karyawan mengobrol atau merokok. Ruangan kaca tertutup yang cukup dengan exhaust menyala sedikit ribut di atas untuk membuang asap rokok ke udara bebas.

Kali ini hanya ada beberapa orang yang tanpa sadar sibuk meracuni orang-orang di sekitarnya dan diri mereka sendiri dengan asap bakaran rokok yang menyala di mulut mereka untuk mengusir rasa sepat. Mereka berkumpul berkelompok, asyik membicarakan entah apa. Sementara itu, Aziz memilih menyendiri di sudut ruangan.

Dia mengurungkan niatnya untuk merokok, malah mengeluarkan ponselnya dan asyik sendiri dengan benda yang satu itu.

Sudah hampir seminggu Aziz tidak bertemu dengan Putra. Saat dia menanyakan keberadaan pemuda itu melalui chat, pemuda itu menjawab bahwa belakangan ini dia sibuk mengumpulkan materi untuk skripsinya hingga baru pulang ke tempat kos lewat dari Isya. 

Subuh pun dia mengaku salat di masjid lain karena tertarik pada kajian-kajian selepas subuh yang diselenggarakan di sana. Aziz tidak bisa mengikuti kajian di sana, tentu saja. Selepas subuh, dia harus bergegas bersiap-siap berangkat agar tidak terlambat masuk kerja. 

Begitu katanya, tapi Aziz menyadari bahwa pemuda itu sedang menghindarinya. Tidak ada keraguan tentang hal itu!

"Rupanya foto masih terlalu ekstrem." Aziz tertawa kecil, mengelus foto yang membuatnya dihindari itu. Foto yang sudah dia potong hingga hanya menampilkan mereka berdua dan dicetak untuk diselipkan dalam dompet agar dia bisa melihatnya kapan saja.

Dia jelas merindukan pemuda yang menghindarinya itu, tetapi pendekatannya selama empat tahun memang selalu diselingi masa-masa seperti ini. Setiap kali Aziz berhasil melakukan sesuatu yang membuat pemuda itu panas dingin, pemuda itu akan menghindarinya hingga Aziz berhasil membuat pemuda itu kembali merasa nyaman.

Putra menghindarinya saat pertama kali Aziz menepuk kepalanya. 

Putra pernah menghindarinya saat Aziz mencuri kesempatan menggenggam tangan pemuda itu. 

Putra juga pernah menghindarinya saat Aziz mengacak rambutnya.

Namun, selama Aziz melakukannya dengan natural, lalu bersikap seolah itu bukan hal besar, Putra akan kembali mencoba bersikap seperti biasa.

Aziz tersenyum tiap kali mengingat keberhasilan-keberhasilan kecil yang ia dapat. Lagipula, dia yakin dia mengalami kemajuan. Buktinya, Putra tak lagi menghindarinya bila dia menepuk kepala, menyentuh tangan, atau mengacak rambut pemuda itu. Karena itu, Aziz selalu mencari kesempatan menyentuh Putra, agar pemuda itu semakin terbiasa dengan sentuhannya.

Beri cukup jarak untuk membuatnya nyaman, tapi jaga dia cukup dekat agar selalu dalam jangkauan. Itu prinsipnya selama mendekati Putra.

Kali ini, apa yang perlu dia lakukan untuk mengembalikan pemuda itu ke sisinya?

Dia berdecak. Bukannya dia orang yang sabar sampai mau memperjuangkan pemuda itu hingga selama ini. Namun, Putra benar-benar sudah menyita pikirannya. Kali ini pun, dia sangat ingin mendekap pemuda itu, membawanya ke dalam lembah kenikmatan.

Dengan desah frustrasi, Aziz keluar dari menu galeri, menggeser tampilan layar ponselnya hingga layarnya menampilkan sebuah aplikasi.

Dalam beberapa menit, Aziz tenggelam dalam aplikasi tersebut, menggulir layar, menatap tiap foto hingga menemukan yang sesuai.

Ya, yang ini boleh. Agak mirip dengan pemuda yang ia rindukan.

Pesan dikirim. Tak perlu menunggu lama, balasan datang, negosiasi berlangsung, lalu nama sebuah hotel dicetuskan.

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang