Perjalanan ke rumah Aziz dari rumah siswa privatnya memakan waktu sekitar dua jam meski Putra mengendarai motor. Putra sebenarnya lebih suka naik angkutan umum. Selain mengurangi polusi udara, dia hanya perlu duduk diam—atau berdiri— tanpa perlu memperhatikan jalan. Namun, bila akan mengajar privat, Putra lebih sering menggunakan motor supaya tidak terlambat.
Sesampainya di rumah Aziz, Putra segera memarkir motornya di depan pagar. Sudah sampai di sini, jantungnya berdegup kencang, gugup.
Harusnya tadi dia mengajak Raja! Tapi dia kan buru-buru, tidak terpikir untuk menjemput Raja dulu. Lagipula dia sempat berhenti untuk salat Isya di masjid yang dia lewati dan mampir ke toko buah di dekat situ untuk membeli buah tangan, cukup memakan waktu. Bagaimana kalau Rahman masih menantinya?
Ya, Rahman.
Fokus, Put. Lo cuma mau ketemu Rahman. Ada istri Bang Aziz juga!
Setelah rasa gugupnya mereda, Putra mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Tidak perlu menunggu lama, Putra bisa mendengar suara Aziz menjawab salam, disusul pintu yang terbuka.
Di hadapan Putra kini berdiri Aziz dengan tampilan santai yang jarang dilihatnya. Biasanya dia melihat Aziz dengan baju koko, pernah juga melihat lelaki itu dengan kemeja resmi, seperti saat bertemu di perpustakaan. Namun, kali ini lelaki itu menggunakan kaus oblong yang memberi kesan berbeda dari biasa.
Putra segera mengalihkan pandangannya.
"Rahman gimana kondisinya, Bang?" tanya Putra tanpa basa basi.
Aziz tak langsung menjawab, hanya tersenyum getir.
"Masuk dulu, Put," katanya sambil menyingkir dari pintu untuk mempersilakan Putra masuk.
Putra heran, tetapi dia memutuskan untuk mengikuti. "Assalamualaikum." Dia kembali mengucap salam.
"Waalaikumussalam. Duduk dulu. Sebentar ya, Abang ambilin minum dulu," kata Aziz.
"Rahman...?" Putra ingin kembali menanyakan soal Rahman, tapi Aziz sudah meninggalkannya. Padahal awalnya Putra hanya ingin bertemu dengan Rahman sebentar lalu pulang. Apa boleh buat, dia mengikuti instruksi pemilik rumah, duduk di sofa yang ada di ruang tamu.
Putra mengedarkan pandangannya. Rumah Aziz terbilang rumah sederhana, tidak ada furniture yang mencolok. Di salah satu dinding, Putra bisa melihat foto keluarga Aziz, sang istri, beserta bayi Rahman. Mungkin diambil saat Rahman masih belum berusia setahun.
Tiba-tiba Putra membayangkan akan memiliki foto seperti itu nanti. Bersama Rara? Sudut bibirnya tertarik sedikit. Dia bisa membayangkan hal seperti itu sekarang ini, bukankah itu pertanda bagus?
"Minum dulu, Put. Ada sedikit camilan juga nih. Kamu jauh-jauh dari Bekasi pasti haus." Aziz muncul membawa dua gelas berisi sirup dan beberapa toples camilan.
"Mm, makasih, Bang. Ini, saya bawa sedikit buah untuk Rahman." Putra menyodorkan sekeranjang buah yang dia beli. "Ng, Rahman gimana?" Putra kembali bertanya.
Aziz memperlihatkan senyum masam. "Rahman di rumah sakit, Put. Tadi abis chat kamu, panasnya makin tinggi, jadi kami langsung bawa dia ke RS," kata Aziz. "Tadinya Abang mau kabarin kamu, tapi handphone saya baterainya habis. Makanya, habis drop Rahman, Abang balik lagi. Takut kamu keburu sampai."
"Oh begitu...." Sia-sia sudah dia kemari.
Tapi, itu 'kan bukan salah Bang Aziz.
Tiba-tiba sebuah kenyataan menghantam Putra. Rahman di rumah sakit, kemungkinan dengan ibundanya. Artinya sekarang mereka cuma berdua saja?!
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan Jalan
Espiritual⚠️ WARNING! 18+ Baca dengan bijak Cerita LGBT! Flaithri Putra Ravi : Gue jatuh cinta sama dia. Abang yang nggak cuma saleh, tapi juga baik hati. Sayang, Bang Aziz udah punya istri dan satu orang anak balita yang lucu banget. Gue nggak mungkin mer...