Hari Minggu yang cerah, tapi sayangnya mood Aziz tidak secerah cuaca pagi itu. Sudah beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan Putra. Terakhir mereka bertemu di masjid saat salat subuh hari Jumat lalu. Pekerjaan yang menumpuk sepanjang hari membuatnya harus lembur hingga malam, tak bisa bertemu dengan Putra.
Lalu, subuh di hari Sabtu, Putra tak terlihat. Saat Aziz menanyakan soal itu melalui chat, Putra menjawab bahwa dia kesiangan dan salat di kos. Pemuda itu juga berkata bahwa dia akan pulang ke rumah bundanya di Bekasi hingga Senin pagi.
Aziz mengela napas, bersandar di sofa ruang tamunya yang nyaman. Masjid tanpa Putra terasa begitu kosong. Dia baru bisa bertemu dengan pemuda itu besok malam. Atau, mungkin dia bisa pulang lebih cepat untuk mengejar waktu salat Magrib? Atau lebih baik lagi, izin pulang cepat untuk salat Asar?
Dia terkekeh geli atas pikiran konyolnya. Bisa-bisanya dia berpikir untuk izin dari kantor hanya demi bertemu dengan seorang pemuda.
Putra benar-benar sudah mencuri hatinya.
Sebelum menikah, dia sempat beberapa kali berpacaran dengan lelaki, tetapi baru kali ini dia merasa kasmaran sampai seperti ini.
Aziz membuka ponsel, mencari nama Putra di aplikasi chat, lalu menggulir layar untuk membaca percakapan terakhir mereka.
Iya, Bang. Tadi bangun kesiangan, jadi saya subuh di rumah
Oh iya, nanti saya pulang ke rumah Bunda. Jadi nggak ke masjid al-Barkah
Oh gitu, Put
Abang kesepian dong
Biasanya akhir pekan lebih rame kok Bang
Senin pagi saya langsung ke kampus dari sini
Di kampus gimana? Aman?
Iya, Bang. Alhamdulillah
Saya udah bilang kan, dia janji nggak bakal sebarin rahasia saya
Alhamdulillah
Aziz berdecak.
Sejujurnya Aziz merasa kecewa. Dia pikir gadis itu akan membeberkan rahasia Putra. Kalau sampai itu terjadi, Putra pasti akan merasa tertekan. Lalu Aziz akan menjadi sandaran bagi pemuda itu. Sayang sekali gadis itu memilih bungkam.
Tidak ada percakapan berarti setelahnya. Putra tidak suka percakapan basa-basi dan Aziz tidak punya topik lain untuk dibicarakan. Dia sempat membagikan poster kajian yang dibalas Putra dengan emoticon jempol saja.
Aziz kembali menghela napas. Kini ibu jarinya memencet foto profil yang digunakan pemuda itu. Hanya gambar yang berisi potongan ayat Al-Quran. Tidak ada foto. Kalau saja pemuda itu memasang foto, mungkin kerinduannya bisa sedikit terobati.
Dia sempat mencari akun media sosial Putra. Berbekal namanya yang unik, Aziz berhasil menemukannya. Hanya satu akun di antara sekian banyak media sosial yang populer sekarang. Itu pun nyaris kosong. Putra lebih sering menggunakannya untuk membagi tulisan dakwah atau poster kajian. Lagi-lagi, tidak ada foto sama sekali.
"Pah! Pah!"
Tiba-tiba Rahman, putranya yang kini berusia dua tahun, menepuk-nepuk kakinya. Bola mata bulat cokelat tua, kulit putih, dengan rambut lurus yang menutupi alis, membuatnya tampak seperti boneka Prancis.
Aziz tersenyum lalu mengangkat balita itu ke pangkuannya.
"Kenapa, Sayang?" tanyanya lembut.
Rahmat menunjuk-nunjuk ponsel yang dipegang Aziz.

KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan Jalan
Espiritual⚠️ WARNING! 18+ Baca dengan bijak Cerita LGBT! Flaithri Putra Ravi : Gue jatuh cinta sama dia. Abang yang nggak cuma saleh, tapi juga baik hati. Sayang, Bang Aziz udah punya istri dan satu orang anak balita yang lucu banget. Gue nggak mungkin mer...