Bab 23 - Kejujuran yang Berbahaya

689 119 69
                                    


Kesibukan mengurus berkas-berkas pernikahan dan berkas sidang skripsi membuat Putra harus bolak balik Bekasi-Jakarta. Pemuda itu lebih sering pulang ke rumah Bunda dibanding ke tempat kos. Ditambah kesibukan membantu skripsi Rara dan Raja, membuat niatnya untuk memberitahu Aziz mengenai pertunangannya terlupakan begitu saja.

Sebenarnya, hampir setiap hari Aziz mengirim chat. Biasanya sekadar memberitahu info kajian, atau lebih sering mengirim voice note dari Rahman. Putra pun membalas seperti biasa, tapi tidak pernah mengungkit soal pertunangannya.

Dia tidak bermaksud merahasiakan soal pertunangannya. Hanya saja, Putra tidak menemukan momen yang tepat. Sekalinya dia ingin memberitahu Aziz, ada saja yang mengalihkannya hingga dia kembali melupakan soal itu. Entah panggilan dari Bunda, chat dari dosen pembimbing, atau hujan tiba-tiba yang membuatnya harus kabur mengangkat jemuran.

Maka, saat melihat sosok Aziz selepas salat Isya di al-Barkah malam itu, Putra menghampiri pria yang salat bersama Rahman itu.

"Assalamualaikum," sapa Putra.

"Wa'alaikumussalam. Hari ini nggak pulang ke Bekasi, Put?" tanya Aziz dengan senyum semringah. Meski sering mendengar suara Putra melalui voice note yang pemuda itu tujukan untuk Rahman, Aziz senang bisa kembali melihat wajah Putra.

"Iya, Bang. Besok pagi rencananya saya mau ke kampus, jadi saya pulang ke kosan," jawab Putra seraya mengacak rambut Rahman lembut. "Rahman udah sehat?"

Bocah itu tersenyum sambil mengangguk malu-malu. Agaknya walau sudah akrab melalui voice note, anak itu masih malu saat berhadapan langsung dengan Putra. Putra membiarkan anak itu memakai sandalnya sendiri, lalu menawarkan gendongannya. Rahman tersenyum lebar sebelum menerima tawaran itu.

Aziz mengamati interaksi keduanya dengan senyum tak kalah lebarnya. Andai mereka bisa terus bertiga seperti ini, dia pasti akan bahagia sekali.

"Ke kampus mau ngurus skripsi lagi, Put?" tanya Aziz sementara mereka berjalan menuju gerbang masjid.

"Oh, nggak, Bang. Skripsi saya alhamdulillah udah selesai. Tinggal tunggu jadwal sidang aja," jawabnya. "Besok rencananya saya mau bantu skripsi temen...."

Ucapan Putra terhenti sejenak. Seperti biasa, dia berniat membantu skripsi Raja dan Rara. Raja memang temannya, sementara Rara....

"...sama skripsi tunangan saya, Bang." Rona merah muncul di pipinya saat menyebut kata tunangan.

Senyum Aziz lenyap seketika.

"... Tunangan?" Dia memastikan. Jangan-jangan telinganya yang salah dengar.

"Iya, Bang. Alhamdulillah, pekan lalu saya sudah melamar cewek yang pernah saya ceritakan. InsyaAllah setelah lulus nanti kami akan langsung nikah." Putra menjawab sambil menatap Aziz. Dia tersenyum saat menyadari bahwa perasaannya baik-baik saja. Dia tahu dirinya masih punya rasa ketertarikan pada pria di hadapannya ini, tapi perasaan bahagia yang dia rasakan saat membayangkan pernikahannya itu jelas nyata. Itu membuatnya lega.

Aziz menghentikan langkahnya. Pucat. Senyum semringah yang ditunjukan oleh Putra adalah alarm bahaya baginya.

"Put, Abang mau ngomong sama kamu, boleh?" tanyanya.

Putra mengernyit heran. "Iya, Bang. Ngomong apa?"

"Hm.... Kita ngobrol di taman aja ya?" Aziz meraih Rahman dari gendongan Putra. Sesaat bimbang. Dia ingin bicara serius dengan Putra dan tidak ingin Rahman ikut mendengar.

Tiba-tiba, dia melihat Alfan, anak tetangga sebelah rumahnya yang kini duduk di bangku SMA. Alfan dekat dengan Rahman sampai-sampai terkadang Dita menitipkan Rahman pada pemuda itu saat Dita harus pergi sebentar.

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang