Putra memasuki Solaria dan segera menemukan dua sosok temannya. Dia menghampiri mereka, memilih duduk di samping Raja, tepat di seberang Rara. Makanan sudah terhidang di meja.
Nasi goreng dengan toping berbeda tampak menggugah selera. Es jeruk untuknya, jus alpukat untuk Rara, dan Raja memilih lemon tea membuat meja ini menjadi sedikit berwarna.
Putra menyerahkan belanjaan teman-temannya sebelum mengucap basmalah dan mulai menyantap makanannya.
"Put, boleh nggak gue tanya sesuatu? Tapi kalo lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa." Tiba-tiba Rara bersuara. Tangannya sejenak diletakkan kembali ke meja.
"Tanya apaan?" Putra menyahut dengan setengah tak acuh.
"Sejak kapan lo suka sama sesama jenis? Maksud gue, nggak tiba-tiba gitu kan?"
Sejenak, Putra menghentikan makannya. Dia melirik ke arah Raja. Yang dilirik malah mengangkat dua tangannya.
"Menurut gue, yang ini harus lo ceritain sendiri," kata Raja. Dia mundur dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
Ya, Putra sudah pernah menceritakannya pada Raja, tapi kali ini Raja menolak menggantikannya bercerita. Lagipula, beda dengan kisah awal mereka dekat, kisah yang satu ini tidak dialami langsung oleh Raja. Jadi menurutnya, Putra yang lebih berhak menceritakannya sendiri.
Putra menghela napas, menimbang harus memulai ceritanya dari mana. Sepertinya dia harus menceritakan dari awal.
"Ayah gue meninggal waktu gue masih di kandungan. Gue nggak kenal sosok ayah sama sekali kecuali dari cerita-cerita Bunda. Oh iya, nama gue ini nama pemberian Ayah. Ayah udah nyiapin nama ini sebelum beliau dipanggil Allah." Putra mulai bercerita sambil mengaduk-aduk minumannya, tanpa menatap Rara dan Raja.
"Bunda protektif banget sama gue. Mungkin efek trauma ditinggal ayah tiba-tiba. Kalo gue luka sedikit aja, Bunda bisa histeris. Akhirnya, dari kecil gue jarang main sama temen-temen cowok. Bunda lebih tenang kalo gue duduk anteng sama temen-temen cewek. Ya, akibatnya gue jadi sering diejek temen-temen cowok, disebut banci."
Rara menatap Putra lekat. Wajah cowok itu memang cenderung cantik, tapi sikapnya sama sekali tidak kemayu. Menurut Rara, kata banci tidak cocok disematkan pada Putra.
"Waktu SD kelas lima, gue dapet wali kelas yang perhatian. Cowok. Beliau negur temen-temen gue yang sering ngejek gue. Dan beliau juga ngobrol sama Bunda. Beliau nyaranin Bunda lebih bebasin gue main kayak anak-anak cowok lainnya. Demi perkembangan gue, katanya. Alhamdulilah, berkat beliau, Bunda jadi nggak terlalu protektif lagi sama gue." Putra menjeda ceritanya. Dia menyeruput es jeruknya.
"Pas gue kelas enam, wali kelas gue itu nikah. Gue sedih banget waktu itu." Mata Putra terlihat sedikit sendu saat mengatakannya.
"Awalnya gue pikir gue sedih karena gue berharap beliau jadi pengganti ayah gue, tapi nggak.... Gue nggak berharap beliau nikah sama Bunda."
Kali ini Putra menarik napas panjang. "Sedih yang gue rasain waktu itu adalah sedih patah hati. Di situ gue baru sadar kalo gue selama ini suka sama beliau." Putra mengangkat bahu, memberi isyarat bahwa ceritanya selesai sampai di situ.
"Oh... Berarti dari kecil ya, Put? Jangan-jangan yang orang bilang gen?" tanya Rara.
"Sembarangan aja lo, Ra, kalo ngomong! Maksud lo keluarga si Putra ada yang belok?" celetuk Raja.
"Eh, bukan gitu, Nyong!" Rara melemparkan tisu bekas pakai ke arah Raja. "Maksud gue ... eh, gue nggak paham juga, sih. Tapi kan katanya gay itu bisa dari gen juga," kata Rara ragu. Dia cuma pernah dengar, tidak tahu pastinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan Jalan
Espiritual⚠️ WARNING! 18+ Baca dengan bijak Cerita LGBT! Flaithri Putra Ravi : Gue jatuh cinta sama dia. Abang yang nggak cuma saleh, tapi juga baik hati. Sayang, Bang Aziz udah punya istri dan satu orang anak balita yang lucu banget. Gue nggak mungkin mer...