Bab 25 - Pengakuan Sesungguhnya

751 137 47
                                    

Awalnya Rara tidak terlalu memedulikan tautan tweet yang dibagikan di beberapa grup chat miliknya. Dia baru membukanya saat orang-orang menyebut nama Putra.

Syok, tentu. Sebagai orang yang dekat dengan Putra, Rara hampir 100% yakin bahwa itu memang Putranya. Terlebih lagi, Rara tahu mengenai orientasi seksual Putra.

Hal pertama yang terpikir olehnya adalah kemungkinan bahwa tunangannya bermain di belakangnya. Namun, Putra yang dia kenal bukan tipe yang seperti itu.

Ataukah selama ini Rara salah menilai Putra?

Rara menggeleng. Dia tidak mau berasumsi. Dia harus menanyakannya langsung pada Putra.

Sayangnya, handphone Putra tidak bisa dihubungi. Rara menunggu hingga jadwal pertemuan mereka dengan Raja, tetapi Putra tidak kunjung datang.

Kedatangan mereka ke tempat kos Putra juga tak membuahkan hasil. Pengurus kos malah menitipkan barang-barang Putra pada mereka. Pertanda bahwa foto itu sudah tersebar luas.

Ada rasa khawatir dalam diri Rara saat tidak menemukan Putra di tempat kos. Skenario buruk sempat terbayang di otaknya.

Apa mungkin Putra menghabiskan malam dengan laki-laki berbaju koko hitam itu?

Namun, Rara segera menepis pikirannya. Putra tidak begitu!

Dia dan Raja sepakat pergi ke rumah Bunda Rafanda. Betapa lega dirinya—dan Raja—saat tahu bahwa Putra pulang ke rumah Bunda semalam, selepas isya.

Kini, Rara berhadapan langsung dengan Putra. Dia akan mendapatkan jawaban langsung dari tunangannya itu.

Rara menatap Putra yang menggulir layar ponselnya. Tidak lama, gerakan pemuda itu berhenti. Wajahnya pucat pasi, membuat Rara sempat khawatir Putra akan pingsan di tempat.

Syukurlah Putra terlihat masih sadar. Rara menunggu, hingga akhirnya pemuda itu membuka suara.

"Namanya Bang Aziz. Dia … orang yang gue suka …."

Perasaan kecewa segera menghantam Rara saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir tunangannya. Namun, perasaan kecewa itu dikalahkan oleh rasa iba dan sayang saat mendapati bahwa tubuh Putra gemetar.

Rara ingin sekali memeluk pemuda itu. Sayangnya, status mereka masih belum mahram.

"Bunda udah tau, Flai?" tanyanya lagi.

Putra menggeleng.

"Cepat atau lambat, Bunda bakal liat ini …" kata Rara dengan hati-hati. "Boleh gue panggil Bunda ke sini?" tanyanya.

Rara tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi dia tahu, kali ini, Putra butuh dukungan. Dan dukungan dari Bunda adalah hal yang paling dibutuhkan Putra.

Butuh waktu beberapa lama bagi Putra untuk mengangguk. Melihat persetujuan Putra, Rara segera bangkit untuk memanggil calon mertuanya.

***

Sudah beberapa menit berlalu sejak Bunda bergabung bersama mereka, tetapi Putra masih belum bisa mengeluarkan suara. Tiga orang yang berada bersama dengannya kini tidak mendesak, hanya menunggu. Gemetar di tubuhnya sudah berhenti berkat Bunda yang kini berada di sisinya.

Perlahan Putra merasakan ketenangannya kembali. Masih ada rasa khawatir akan membuat tiga orang di hadapannya kecewa. Namun, Putra berharap mereka percaya kepadanya.

Akhirnya Purra memberanikan diri untuk membuka mulutnya.

"Putra nggak pernah cerita tentang Bang Aziz bukan karena Putra mau ngerahasiain tentang Bang Aziz," Putra memulai ceritanya, "Putra cuma ngerasa … kalau Putra cerita tentang perasaan Putra, perasaan itu jadi betul-betul nyata…."

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang