Dira terbengong, mulutnya terbuka. Otaknya tidak bisa mencerna apa yang barusan lelaki itu katakan. "Ha?" tanyanya. Panda kecil? Bukankah sebutan burung gagak lebih bagus?
Hening. Dira kembali menghadap ke depan, tidak ingin bertanya dan memastikan karna tampaknya lelaki itu bergeming.
Tiba-tiba lelaki itu kembali bersuara sambil menghadap ke arahnya. "Lo ... mau maapin gue gak?"
Dira menghela napas pelan. "Atas dasar?"
"Gue ngikutin lo."
Apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu? Dira merasa khawatir. "Sejak?"
"Lo bantuin nenek-nenek di jalan tadi," jawab lelaki itu. Ia merogoh sakunya, Dira memperhatikan. "Nih, obatin tuh luka. Jangan berterima kasih, gue emang baik."
Dira menatap obat merah dan hansaplast itu, gadis jelek itu bertanya, "Ikhlas?"
Reza mengangguk girang, tersenyum manis kembali menyodorkan kebaikannya. "Banget, nih!"
"Makasih," gumam Dira pelan menerima pemberian lelaki ini. Seutas senyum kecil muncul, hati Dira berdesir hangat. Rasanya Dira lupa bagaimana ia terluka tadi, rasanya Dira ingin seperti ini. Hangat. Dira suka.
"Dah dibilang juga." Reza menggelengkan kepalanya heran. Siapa bilang dia tidak mendengar gumaman gadis itu? Bahkan untuk ringisan kecilnya Reza sangat peka. Lelaki manis yang buruk rupa seperti Dira itu terkekeh. "Dasar, Panda kecil."
"Nama gue bukan itu," sewot Dira menggenggam erat kebaikan Reza juga kunci motornya.
"Jadi?" Reza bertanya sambil menahan senyum. Tepat sasaran, dia ingin segera menarik tali pancingannya.
"Indira, panggil Dira." Akhirnya gadis itu mengucapkan namanya. Diam-diam Reza tersenyum senang, sangat senang. Seperti diberi uang ratusan juta.
Wajahnya kembali normal. "Oke." Reza tidak tau harus berkata apa lagi. Sepertinya ia harus bertanya. "Dingin ya sama orang baru?"
Dira mengangguk setelah menoleh ke arah Reza. Dira memperhatikan lelaki itu. Reza? Namanya keren. Dira tidak ingin berekspetasi tinggi, apalagi berhipotesis. Ia harus ingat, masih punya Dafa.
"Panda kecil, eh maksudnya Dira."
"Apa?"
Reza kembali merogok sakunya yang lain. "Ini." Reza menunjukan bungkus, selanjutnya Reza kembali berucap, "kata temen-temen gue ini bisa ngilangin stres."
Dira menatap nyalang bungkus rokok di tangan Reza, tatapan tak sukanya menghunus tajam. Namun kembali normal ketika menatap Reza. Membuat lelaki itu tersentak.
"Terus?"
Reza mengerjabkan matanya pelan, mengembalikan bungkus rokok itu di sakunya. "Gue mau coba, tapi ragu."
Hening. Tangan Dira mengepal, menahan gejolak amarah di jiwanya. Rasa tak suka yang entah kenapa hadir. Membayangkan lelaki di sampingnya ini merokok, hal yang tidak baik. Membuat Dira marah, entah kenapa. Padahal, Reza itu siapa?
"Kenapa harus rokok?" Dira menggeram dalam batin. Hatinya ingin mengakhiri percakapan ini, tapi mulutnya malah mengeluarkan kata-kata pertanyaan.
Reza menghela napas sambil menegakkan punggungnya. Iris mata hitam itu melihat Dira lekat, bahunya terangkat naik. "Entah."
Dira mendelidik. "Coba cara lain."
"Apa tuh?" Dira tau, sangat tau lelaki ini sedang menahan senyum untuk menggodanya.
"Dekat ke Allah."
Reza mendongak melihat langit-langit biru yang indah di atas sana. "Caranya?"
"Sholat lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA GLOW UP
Teen FictionDira mungkin saja tidak akan pernah merasa terasingkan jika wajahnya putih bersih dan licin. Lihat teman-temannya itu, sudah cantik, pintar, kaya, baik pula. Lalu, Dira itu apa? Baiklah, ia sangat muak berada di sekeliling manusia-manusia sempurna...