Baju kumuh, wajah kusam, jilbab berantakan, badan bau, dan kaki tak beralas. Dira menyadari betapa buruk penampilannya sekarang. Namun, Dira itu bukanlah anak yang paling menyedihkan.
Dira duduk di pinggir jalan, ia sudah jauh dari sekolahanya. Dira sudah tidak perduli dengan ketakutannya. Bahkan kaki dekil milik Dira sudah lecet juga tergores. Tatapan Dira kembali kosong.
Jalanan sedang sepi sekarang, entah kenapa. Tapi baguslah, Dira tidak suka dengan keramaian. Ada sebuah panah yang menancap di ulu hatinya membayangkan tatapan mereka. Tatapan geli, tatapan merendahkan. Dira menggeleng kuat, ia benar-benar tidak suka manusia seperti itu.
Gadis itu menghela napas, bangkit dari duduknya. Kali ini ia menyeret tas hitam miliknya, bahu itu sudah lelah. Pikirannya terbang. Kira-kira ada tidak ya yang rindu padanya ... di rumah?
Suara demo dari arah perut Dira terdengar mengganggu pikiran gadis ini. Perutnya terasa nyeri dan perih, mungkin efek tidak makan kemarin juga hari ini. Dira mengelus perutnya.
"Jangan berisik! Gue gak ada uang!" monolog gadis itu. Langkahnya berhenti, mata hitam legam itu melihat kesekeliling. Sekarang ia berada di tengah-tengah kota, kendaraan berlalu lalang, pohon-pohon besar dan jangan lupakan bangunan-bangunan besar yang menghiasi. Langkahnya kembali melaju, sekarang Dira tau harus ke mana.
Mungkin memang, Dira itu lupa jalan pulang, entah di mana bentuk rumah yang katanya kerajaan itu. Kalau rumah adalah kerajaan, pasti Dira itu krikil di kolam ikan. Tidak pernah terlihat, atau mungkin Dira itu seekor gagak yang selalu diusir setiap paginya agar tidak mencuri makanan sang merpati.
Usahanya menempuh jalanan bebatu sudah terlalui. Gadis itu sampai di depan mushalla yang kemarin ia singgahi. Bibirnya melengung mengingat momen ia bisa tertawa lepas. Dira ingin bercerita banyak hal pada Tuhannya, bercerita bagaimana ia bisa mampu berjalan sendirian ke sini.
Namun, harapan itu harus pupus. Seorang ibu-ibu yang baru saja mengepel lantai mushalla mengusirnya dengan cara yang sangat kasar saat Dira hampir saja melangkahkan kakinya ke lantai tangga masjid. Ibu-ibu itu datang menghampirinya sambil memegang pel.
"Heh! Anak gelandangan! Kakimu itu kotor! Sana bersihkan dulu! Tau adab gak sih?! Mana orang tua kamu?" Ibu-ibu berjilbab merah yang memakai baju terusan itu memarahi Dira.
Tubuh Dira menggigil takut. "Eng-"
Pel yang awalnya dipegang Ibu itu melayang ke tubuh Dira. Gadis itu menjerit, sialnya pel itu melayang di lukanya kemarin. Dira memeluk tasnya. Melindungi diri dari pukulan ibu-ibu itu.
"Maaf, bu." Dira terduduk lemas, wajahnya ia tundukkan. Jari-jari kotor Dira meremas tas hitam miliknya. Gadis itu bersimpuh di depan ibu-ibu tadi. "Jangan pukul Dira. Nanti Bunda juga ikut mukul Dira."
Gadis itu lemah, tapi siapa yang peduli? Orang-orang yang melihat kejadian ini saja tampak tidak perduli. Dira itu jelek, jika saja ada anak cantik seperti ia diperlakuan seperti ini. Pasti langsung ditolong.
"Pergi!" usir ibu-ibu tadi mendorong bahu Dira keras sampai-sampai ia terjatuh ke belakang. Gadis itu sempat meringis. Dira tidak kunjung bergerak, ia malah menatap kosong wajah ibu itu yang mana malah membuat wajahnya semakin menjijikkan. Ibu itu menggeram, Dira buru-buru tersadar dan lari terbirit-birit.
Tidak tau saja Dira, ada sepasang mata yang memperhatikannya dari jauh dengan tatapan iba. Hingga kedua kakinya ikut berlari mengejar Dira.
Napas Dira ngos-ngossan. Gadis itu memegangi dadanya. Dira hampir kehabisan napas, dia tidak bohong. Namun, Dira sangat lega karna tidak mendapat pukulan lagi. Sekarang gadis itu sampai di daerah permukiman, di sini juga tidak ramai. Ada dua orang berbadan besar menghampirinya, Dira menatap was-was kedua lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARA-GARA GLOW UP
Teen FictionDira mungkin saja tidak akan pernah merasa terasingkan jika wajahnya putih bersih dan licin. Lihat teman-temannya itu, sudah cantik, pintar, kaya, baik pula. Lalu, Dira itu apa? Baiklah, ia sangat muak berada di sekeliling manusia-manusia sempurna...