0.6 Rasanya hambar

94 9 1
                                    

Dira masih tetap menunggu seperti kemarin. Tubuh Dira meringkuk di lantai dingin gudang sekolah. Tiba-tiba terdengar suara decitan pintu, membuat Dira menoleh. Kemudian, terdengar suara ramai di luar. Dira mengerutkan keningnya lalu terduduk melihat siapa yang akan datang.

Pintu terbuka lebar, terlihat banyak orang di sana. Dengan raut khawatir dan dengan air mata yang berderai. Dira keheranan melihat ini semua. Apa mereka tengah mengkhawatirkannya, atau hanya sekedar bergurau?

Tiba-tiba tubuhnya di terjang dengan pelukan hangat. Itu Bundanya, perempuan yang melahirkan Dira itu menangis di bahu anaknya sambil mengucapkan permohonan maaf. Semua orang masuk ke dalam gudang dan mulai mengelilinginya dengan kehangatan. Tangan-tangan mereka mengelus rambut Dira sayang. Begitu hangat dan Dira suka. Di sana juga ada teman-temannya. Dira tersenyum senang. Hatinya tersentuh merasakan kebahagiaan ini.

Dua pasang mata Dira mengerjab pelan, gadis itu ditarik kembali ke alam sadar. Raut wajahnya datar melihat kesunyian dan kekosongan di gudang usang ini. Ternyata tadi itu hanya mimpi, Dira cukup beruntung masih bisa tidur. Posisi Dira masih meringkuk kedinginan dan ketakutan, bulu kuduk Dira sampai berdiri merasakan aura aneh disekitar.

Dira tidak ingin berbohong, ia begitu takut. Cepat-cepat Dira bangun lalu menenteng tasnya dan keluar dari ruangan ini. Dira meninggalkan gudang juga tikus-tikus di dalamnya yang berdiri sambil berbaris rapi menyambut kepergian Dira.

Sampai di luar, kesepian kembali Dira rasakan. Angin berhembus kencang, cuaca sedang tidak cerah. Dira tertidur sangat lama ternyata, mungkin ini sudah sore. Dira menghela napas, berhenti sejenak--bersiap untuk lari. Dalam hitungan ke tiga, kaki-kaki Dira berlari cepat menuju pintu gerbang sekolah. Napas Dira memburu, dia harus cepat jika ingin dijemput.

Sampai. Dira mengatur napasnya, kaki yang tadi berlari laju kini berjalan dengan normal. Dira duduk di kursi tunggu. Apa lagi kalau bukan menunggu sebuah mobil yang ia kenal dan masuk ke dalam lalu pulang ke rumah. Dira tidak ingin berharap lebih lagi, kemarin hatinya sudah begitu remuk. Memang bukan tamparan fisik yang Dira terima, tapi entah kenapa rasanya begitu sakit. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk hati Dira hingga membuatnya sesak.

Jika dipikir-pikir, sekolah Dira itu lumayan besar dan elit. Dari kelas tujuh saja terdapat lima kelas, berurutan sampai kelas sembilan. Ada perpustakaan yang begitu tenang, Dira sering mampir beberapa kali, membaca novel-novel menarik di sana. Ada juga ruang UKS, kalau tidak salah Dira pernah dua kali memijaki kaki di ruangan itu, menurutnya tidak ada yang menarik , hanya ada dua brangkar dan segala jenis obat-obatam yang diletak di lemari kaca. Juga ada lapangan bola basket yang biasanya dipakai untuk anak voli dan anak futsal juga, ya random aja sih.

Sekolahnya itu aneh, mengapa begitu? Pasalnya, taman sekolah diletakkan di belakang, dan tampilan depan sekolah hanya dipenuhi gedung-gedung. Pohon-pohon di sekolah Dira juga tinggi dan besar, salah satunya pohon yang ia panjati kemarin.

Dira terkekeh kecil sambil menggelengkan kepalanya. Membayangkan betapa liarnya ia malah memuatnya malu. Dira malu, sungguh. Matanya menatap lurus jalanan di depan. Aspal hitam yang beberapa meter di depan ada sebuah rumah-rumah yang berjejer rapi. Dira tidak heran mengapa daerah sekolahnya sepi, orang-orang sekitar sini lebih suka berdiam di rumah dari pada bergosip ria di warung seperti tetangganya.

Kadang, tetangganya itu juga lebih aneh. Pada saat semua orang ingin terlelap untuk istirahat, tetangganya itu malah menghidupkan musik dengan volume yang cukup keras. Dira pun hanya bisa pasrah walau sesekali berdecak mendengar musik-musik jedug-jedug itu.

Dari kejauhan Dira melihat sebuah kereta melaju ke arahnya. Mata Dira menyempit melihat siapa pengendara itu. Hingga perlahan matanya kembali normal. Ternyata buk Tika dengan pacarnya

GARA-GARA GLOW UP Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang