2.0 Akhirnya luka itu mengering

122 11 9
                                    

Bagaimana rasanya menjadi cantik? Bagaimana radanya dikagumi dan disayangi banyak orang? Bagaimana rasanya saat memegang wajah sudah tidak perlu khawatir lalat akan menempel. Iya, Dira tahu rasanya.

Menjadi cantik.

Satu poin sudah ia raih, selanjutnya adalah mendalami teknik marketing, menjualkan produk-produk bu Tika. Penghasilan? Uang? Dira sudah punya itu. Tentu saja ia bangga. Sekarang Dira bukan Dira yang kemarin diejek gembel oleh Ara. Bukan lagi anak yang suka jadi tempat bully teman sekelasnya.

Dira sekarang juga semakin disayang Bunda--karna uang--perempuan itu berlaku lembut pada Dira. Sekarang Dira punya segalanya, tidak ada luka lagi. Kini, masa SMAnya harus cerah.

"Kakak, Dira berangkat dulu ya."

Seseorang di sebrang terkekeh. "Hati-hati bocil kesayangan kakak. Jaga mata jaga hati, ya sayang."

"Iyaaaaa."

Hari ini Dira akan mendaftar sekolahnya. Sudah banyak yang ia lewatkan belakangan ini. Canda tawa menghiasi hidupnya entah sejak kapan. Dira ingin bahagia seperti ini rasanya.

"Lo kok lama si?"

"Rese lo, Pit."

Pipit menyengir jenaka. "Hehe mangap bestie."

Dira mendapatkan sahabat sejatinya, Dira mendapatkan kasih sayang keluarganya, Dira mendapatkan penghasilan, Dira mendapatkan cintanya, Dira mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Dira berhasil!

Tidak ada lagi tatapan rendah untuknya. Tidak ada lagi orang-orang yang selalu berkata.

"Kok makin item, Dir?"

Kini mereka berkata dengan lembut sambil menatap kagum dirinya. "Makin cantik ya, Dir."

Kulit hitam Dira sudah pupus. Wajah parutannya hilang. Badan lebarnya lenyap. Bibir hitamnya tenggelam. Semua orang kagum melihat betapa cantiknya gadis itu sekarang. Bu Tika saja terharu melihatnya. Melihat Dira yang tampil percaya diri begini membuatnya bangga karena berhasil membuat hidup seseorang bahagia.

Cantik memang kadang bisa mengubah derajat hidup kita. Dira percaya itu. Banyak orang yang menyayanginya.

Sudah sepatutnya ketika seorang pemeran utama bahagia ceritanya akan selesai. Dira merasa seperti itu sekarang. Dia tertawa di sini. Menangis haru melihat kebaikan orang-orang disekitarnya.

Jika Dira sakit Dira tidak perlu lagi khawatir akan sendirian.

Jika Dira menangis Dira bisa memilih bahu mana yang akan ia sandarkan.

Jika Dira terluka Dira bisa terobati tanpa takut luka itu infeksi.

Semua sudah berjalan sesuai alurnya. Begitu juga dengan kehidupan Dira sekarang.

****

Masuk sekolah sudah tiba. Ada pengenalan sekolah untuknya selama tiga hari. Yang di mulai hari ini. Pipit berseru riang seperti biasa. Gadis itu pun sudah bukan lagi gadis pendiam yang selalu menjadi alas teman-temannya. Pipit dengan segala keceriaannya kembali.

Dira tersenyum riang menghampiri gadis itu bersama yang lain. Baru satu hari saja Dira sudah mendapatkan beberapa teman. Bahkan ada yang meminta nomor telfonnya. Pipit langsung memasang ancang-ancang untuk melindungi Dira seakan merpati ini adalah burung kebanggaan negara.

Dira terkekeh melihat lelaki itu diceramahi oleh Pipit. Dira menarik gadis itu menjauh agar tidak terjadi yang lebih-lebih lagi. Dira meminta maaf tidak bisa memberikan nomornya, karna kak Alfri sudah melarang hal itu.

Kak alfri tentu sudah berjaga-jaga untuk melindungi Dira. Lelaki itu sampai menghubungi Pipit dan menugaskan cewe itu melindungi Dira dari para lelaki buaya. Dira tidak keberatan, tentu. Karna Kak Alfri adalah kekasihnya.

"Dir, lo jangan mau-mau aja. Entar gue yang kena semprot sama cowo lo," kesal Pipit mengapit leher Dira yang lebih pendek darinya.

Satu hal yang Dira kecewakan. Dia masih saja pendek. "Ishh. Gue kan cuman bilang iya tadi," bela Dira. Memang dasarnya lelaki itu yang sudah salah paham duluan.

Dira tidak merasa salah. Ia mengikuti langkah Pipit dengan wajah polos. Walaupun setiap melihat punggung Pipit Dira selalu teringat dengan Ara. Dira merindukan perempuan baik itu. Namun, Dira tidak punya hak untuk bertemu dengannya.

"Lo kenapa lagi Dir? Sakit?" tanya Pipit dengan wajah khawatir.

Dira menggeleng. "Panas, Pit," adu Dira.

Pipit menghela napas. "Tahan sebentar ya, gak lama lagi kita pulang kok."

Dira tersenyum melihat betapa baiknya teman Dira satu ini. "Makasih bu pipit."

"Najis."

Dira tertawa mendengar cibiran temannya. Hari pertama di sekolah baru terlewat begitu saja, walaupun panas meradang indonesia. Dira menghela napasnya berkali-kali. Entah sejak kapan kulit Dira sensitif dengan panas matahari.

Di hari kedua ini masih panas juga sedikit gerah. Dira bergerak gelisah di lapangan. Namun, mendengar teguran dari guru-guru membuat Dira mau tidak mau harus tahan dengan panas menyengat ini dan tetap berdiri tegak.

Di belakang Dira Pipit melihat gadis itu khawatir. Siapapun yang menjadi Dira pasti akan kepanasan, untung saja sebentar lagi ceramah dari kepala sekolah akan selesai.

"Dira kan?"

Dira menoleh. Sesuai baris mereka kembali ke kelas masing-masing. Dira yang hendak ke kelas menghentikan langkahnya. Kening Dira menyerit melihat siapa yang memanggilnya barusan.

"Iya. Gue Dira, lo siapa?"

Lelaki itu tersenyum. "Gue Teo. Anak IPS dua."

Mata Dira membulat. "Eh, lo Teo?"

Teo terkekeh melihat respon Dira.

"Gue gak nyangka lo tinggi banget ya." Memang benar adanya. Teo itu terlihat tinggi. Mereka berdua menjadi tontonan murid-murid, mereka terlihat seperti ... pasangan yang serasi.

"Bisa aja lo-"

"Eh, apa nih? Bubar-bubar!" Lalu Pipit mengacaukan semuanya. Dira terkekeh saat gadis itu menariknya ke dalam kelas. Lagi-lagi Pipit berceramah panjang lebar. Dira tertawa kecil menanggapi temannya ini. Tanpa sadar seseorang memperhatikan tawa Dira dengan lekat.

Di hari ketiga. Hari ini tiba-tiba mendung. Dira dan Pipit turun dari motor lalu berjalan berbarengan ke gerbang sekolah. Dira menghirup dalam udara sejuk sekolah SMAnya. Gedung ini akan menjadi saksi Dira tumbuh.

Pipit berpamitan untuk ke kamar mandi. Dira mengizinkan saja. Lagi pula bel masih lama, murid-murid pun belum banyak yang berdatangan. Dira bersenandung kecil berjalan mengelilingi sekolahnya. Hingga tatapan gadis itu terkunci pada satu titik.

Seseorang di depannya sana. hampir berjarak 25 meter. Dira melihat seseorang di sana. Hatinya bergetar. Kaki-kaki Dira awalnya melemas, tapi ia kembali sadar mengejar lelaki itu. Membuktikkan dugaan ia benar atau tidak.

Lelaki itu berjalan dengan cepat seakan sadar Dira mengikutinya. Dira tidak tinggal diam dan langung mempercepat kakinya. Dira meramalkan doa di dalam batin. Jangan sampai ada kekecewaan lagi. Keringat membanjiri wajah Dira di hawa yang dingin ini.

Di depannya kini seseorang. Seseorang pemilik bahu tegap yang dulunya begitu ia rindukan. Bola mata Dira bergetar, tangan mulusnya terasa dingin. Dira menepuk pundak seseorang itu, menjangkaunya dengan sekuat tenaga sampai lelaki itu berbalik. Keduanya sama-sama terkejut.

"Reza?" Dunia Dira berhenti seketika.

Reza menurunkan kepala hoodienya sambil tersenyum kecil. "Gimana? Gue ganteng kan panda kecil?"

Jantung Dira seketika menggila. Apa lagi ini Tuhan? Namun, perlahan Dira melangkah mundur. Tidak sanggup merasakan sakit di hatinya. Dira merelakan apa yang ia sebut alur. Ini semua hanya berawal impiannya yang ingin menjadi cantik. Ia terlalu teropsesi, terlalu buta, sampai lupa arah. Dira lupa masih ada luka untuknya.

Tamat

Alhamdulillah.

GARA-GARA GLOW UP Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang