1.3 Di setiap Tahun

80 6 1
                                    

Tahun 2020

Dira tersenyum lega menatap wajahnya di pantulan cermin kamar. Di tahun baru ini Dira harus menjadi yang lebih baik lagi. Lalu gadis itu berjalan ke meja belajarnya, seperti tahun-tahun kemarin.

Dira yang sedang memakai baju tidur itu mengambil pena dari tasnya lalu mengambil buku diary tahunan miliknya. Buku merah dengan pita hitam kesukaan Dira. Dira tersenyum cerah melihat buku itu, rasanya sudah lama sekali Dira tidak menulis hal-hal yang indah. Buku diarynya ini memang khusus untuk ia yang ingin mengenang tahun yang telah terlewati.  Dari penerangan lampu belajarnya, Dira mulai membuka lembaran buku kosong.

Hai, kembali lagi dengan aku, Dira. Tahun kemarin sedikit melelahkan bukan? Tahun kemarin juga sedikit lucu. Aku bahagia sebenarnya. Tentu banyak yang terjadi, aku bahkan sampai lupa jika harus mengingat satu-persatu. Satu tahun sudah berlalu.

Dira teringat dengan masa-masa kemarin. Tahun yang menggoreskan banyak hal di dunianya. Dira ingin melayang melepas beban, seperti mimpi banyak orang di awal tahun. Walaupun ini malam yang indah, bintang bertebaran menemani bulan di sana.

Aku ingin bercerita sedikit, ahh tidak. Yang banyak saja! Begini, aku bertemu dengan orang baik. Namanya Reza. Dia nyebelin tapi bener-bener buat aku hangat. Aku sayang banget sama dia. Awal mula kami bertemu di mushalla, dia yang menyapa terlebih dahulu.

Dira tersenyum senang mengingat pertemuannya dengan Reza dan mulai menceritakan lelaki itu. Bagaimana Reza menurutnya, siapa itu Reza, dan semua kenangan manisnya bersama Reza. Pengujung tahun yang sangat baik, kalau menurut Dira.

Aku gak percaya, Reza anak yang baik ternyata. Aku memang belum benar-benar kenal sama dia, tapi tak apalah. Perlahan pasti kami akan saling terbuka satu sama lain. Kalau bisa dibilang, aku mulai suka sama Reza.

Dira tidak berbohong. Ia terkikik malu. Pipi Dira bersemu mengingat perlakuan hangat Reza. Kedekatan mereka yang terlihat sangat akrab. Dira rasa Reza memberi sejuta warna untuknya.

Aku bahagia. Aku juga menangis, tapi aku bangga. Aku mendapatkan juara kelas yeeyy! Juara satu lagi!

Senyum Dira melebar. Dia menepuk dadanya bangga. "Wibu bukan sembarang wibu," gumamnya. Tidak disangka, Dira mendapat juara satu di kelasnya. Ia cukup bangga melihat Bunda yang tersenyum kearahnya ketika pulang dari kantor.

Oiya, aku gak tau nasip pertemanan aku sama Ara, Rindu, dan Aca. Aku kehilangan cara untuk dekat sama mereka lagi.

Tatapan Dira menjadi sendu mengingat persahabatannya. Dira juga sadar kok, dia gak pantas.

Tapi! Aku kesal!

Dira hampir melupakan ini. Hal yang sangat ingin dia ceritakan.

Aku suka banget sama Dafa, mantan aku yang gantengnya masyallah yang buat aku tremor cuman liat mukanya doang yang selalu aku doain dan yang selalu ngisi pikiranku. Ya sebelum dia berpacaran dengan orang lain. Tidak-tidak, dia berpacaran dengan temanku.

Aku suka Dafa. Aku suka Dafa! Tapi kayanya kami gak cocok deh. Dia ganteng banget T_T

Walaupun Reza itu baik sama aku. Tapi Dafa tetap yang nomor satu! Liat aja, setelah aku jadi cantik aku pasti dapetin Dafa. pokoknya Dafa jodoh aku, titik!

Dira tersadar dengan tulisannya. "Berarti aku harus cantik dong!"

Oke! Tahun ini Dira harus cantik!

Gadis itu kembali menulis hal-hal seru yang ia ingat, menceritakan semua lukanya di penghujung malam. Tahun ini, ketika semua orang gelisah karna virus yang menyebar dunia. Dira tersenyum menebar suka duka di buku diarynya.

Walapun di sini sepi, dan aku sendirian. Tidak apa-apa, lebih baik mengurung diri dari pada harus tersiksa dengan mulut manusia.

***

Tahun ini banyak yang berbeda. Dira mengganti peran menjadi babu di rumahnya. Sekolah diliburkan dan Dira membersihkan rumahnya sendiran. Bundanya pergi arisan, abangnya hilang entah ke mana. Dira ingin marah, tapi dia juga senang.

Dira itu tipe yang pemalas--tentu--tapi jika Dira sedang rajin, seisi rumah pun akan bersih ia buat. Dira memulai dari menyapu. Rambutnya sudah ia cepol asal sambil memegang sapu dengan mata berbinar.

Hari-hari Dira berlanjut begitu saja, entah sejak kapan dia yang menjemuri pakaian orang rumah, dan entah sejak kapan bibik yang biasa membersikan rumah malah hanya memasak di dapur. Dira merasa ada yang tidak beres di sini.

Setelah selesai mandi, Dira bergegas bertemu Bundanya mempertanyakan kebabuannya di sini. "Bunda, Dira kok malah jadi beres-beres rumah," tuntut Dira yang rambutnya masih basah--ia tadi keramas.

Bunda yang sedang duduk di sofa ruang tamu menoleh, dan dengan santainya perempuan kepala empat itu menjawab. "Gak boleh gitu. Anak perempuan harus rajin."

Dira ternganga, lalu gadis itu mencak-mencak tak jelas. "Ishh. Kok gitu sih!"

Bundanya kembali pada aktivitas awal--bermain ponsel--sambil berkata, "Udah terima aja. Mumpung kamu libur."

Dari saat ini Dira benci dengan liburan. Liburan panjang ini membuat Dira menderita, terlebih dia tidak boleh keluar rumah untuk pergi menemui Reza. Liburan yang tidak liburan ini membuat kepala Dira rasanya ingin pecah, tugas sekolah menumpuk. Entah apa yang akan terjadi di masa depan jika generasi bangsa tersiksa sepertinya.

Dira sendiri merasa kasihan pada nasipnya yang tidak jelas ini.

***

Tidak terasa, beberapa bulan berlalu. Mungkin karna sering di dalam di dalam rumah, sudah terlewat beberapa bulan saja. Namun, Satu hal yang belakangan ini menghantui Dira di malam hari. Reza menghindar. Entah ini hanya perasaan Dira saja atau memang Reza menjauh darinya. Apa itu benar?

Pertanyaan gelisah mulai muncul di benak Dira. Apa kesalahan Dira? Apa yang Dira lewatkan? Reza ada masalah apa? Bagaimana Dira memperbaikinya? Apa Reza akan memaafkannya. Juga didukung dengan pikiran negatif. Membuat pikiran Dira kacau.

Hari ini, seharusnya jadwal Reza dan Dira perawatan, tapi Reza tidak datang. Memang, semenjak covid melanda Dira hanya beberapa kali pergi ke rumah buk Tika. Walaupun begitu, Dira tetap saja tidak bertemu dengan Reza. Bu Tika saat ditanya pun menjawab tidak tahu sambil menggeleng. Dira semakin kebingungan.

Kalau tidak salah, Dira baru bertemu dengan Reza dua kali, itupun yang kedua kalinya selisihan di jalan. Kening Dira menyerit masuk ke kamarnya. Dia berjalan ke kaca. Melihat wajahnya yang buruk rupa ini. Dira sedikit senang, sudah ada perubahan. Benar kata bu Tika. Kalau kita konsisten dan berdoa pasti bisa. Wajahnya terlihat lebih cerah, jerawatnya pun mulai memudar, bibirnya hampir berwarna pink sempurna, dan badannya sedikit kurusan.

Dira beralih membuka handphonenya. Sedikit sesak karna tidak mendapatkan notifikasi dari siapapun. Dira membuka whatsappnya. Melihat room chet-nya dengan Reza. Mata Dira melebar ketika melihat Reza sedang online, tapi pesannya tidak di baca.

Ini bukan yang pertama kali. Dira sudah mengirimi Reza banyak pesan, tapi tidak ada satu pun yang Reza balas. Dira menghela napas kasar. Sebenarnya Reza kenapa sih?

Dira meletakkan ponselnya di kasur, berjalan ke meja untuk makan malam. Bunda sedang pergi ke luar kota, abangnya sedari tadi entah ke mana--seperti biasa. Dira merasa kesepian? Tidaklah. Dia makan sambil menonton drakor, senang rasanya bisa menonton drakor di televisi.

Walaupun kadang Dira itu benar-benar kesepian, tapi kemarin saat ia kesepian selalu ada Reza. Pikiran Dira kembali melayang membayangkan Reza yang akan jauh darinya. Dira menjadi tidak rela harus berpisah dengan Reza, lelaki itu sangat baik. Namun, Dira bukanlah Tuhan yang bisa mengatur semuanya, ia hanyalah hamba yang dzalim. Dira percaya, suatu saat ia dan Reza pasti akan berpisah, dan itu pasti.

Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

Makanya Dira tidak ingin mengenal banyak orang. Juga, Dira tidak bisa memahami hal yang sebenarnya terjadi di sini. Dira takut untuk berpisah, apalagi dengan Reza. Kemudian, yang selanjutnya ia lakukan adalah tidur dengan tenang, walaupun itu tidak benar. Dira kembali overthinking memikirkan Reza--lagi.

*
*
*

Diketik : 1205

GARA-GARA GLOW UP Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang