1.6 Bersamanya

95 6 0
                                    

Ku mohon. Bacalah sebentar. Ini aku, Dira. Seseorang yang sering kalian temui. Belakangan ini, entah kenapa tiba-tiba ada sesuatu yang menganggu tidurku di malam hari. Jika kalian berpendapat itu Reza, maka kalian kalian salah kali ini.

Tadi malam, author mengabariku, memohon untukku mengisi satu part ini saja. Bukan tanpa alasan, aku tahu perempuan baik sepertinya tidak akan merepotkan seseorang seperti ini. Aku berterimakasih, entah sejak kapan rasanya begitu hangat. Jika dipikir-pikir bukankah aku cukup beruntung?

Di sini, aku akan menceritakan tiga bulan pertama aku jatuh cinta pada seorang lelaki berumur delapan tahun lebih tua dariku. Sepatutnya itu menjadi judul bukan? Tapi, tidak. Lebih baik begini saja.

Aku merindukan Reza. Aku masih menyayanginya, tapi sekarang keadaan berubah. Ketika dulu ... aku menyayangi Reza karna aku menyukainya, sekarang aku hanya menganggap Reza temanku, tidak lebih.

Jika boleh jujur. Malam ini, malam dingin di kamarku yang juga tentu dingin ini. Aku merindukannya, bukan Reza, tapi kak Alfri. Lelaki yang tiba-tiba bisa dekat denganku. Awalnya aku menghindar, berfikir kalau ujung-ujungnya ini hanya jebakan takdir.

Namun, lama-kelamaan aku nyaman. Kata-kata hangat dari kak Alfri membuatku merasa lebih berguna, membuatku bahagia. Kak Alfri itu memenuhi sebagian hatiku yang kosong. Memenuhi singgasana yang belum sempat Reza duduki.

Malam ini aku mulai sadar. Aku perlahan melupakan Reza. Aku bisa bercanda tawa tanpa Reza. Walaupun, rasanya tidak serupa ketika bersama Reza. Bagiku Reza tidak pernah tergantikan, sebab apa? Sebab cowo itu orang pertama yang memberiku semangat di saat aku lemah.

Aku mulai membuka hati untuk kak Alfri, lelaki itu selalu mengingatkan hal-hal baik di hari-hariku yang tanpa kusadari membuat hatiku bergetar. Seperti mengingatkan sholat, bamyak minum air putih, dan mandi dua kali sehari.

Aku pernah minta kepada Tuhan untuk menjauhkanku dengan kak Alfri. Namun, entah kenapa sesaat setelahnya. Kak Alfri datang, mengabariku dengan sejuta caranya untuk membuatku ... luluh.

Di usia remaja seperti ini. Bu Tika bilang ini adalah hal yang wajar, katanya dia dulu juga begitu. Selalu tertarik untuk merasakan gimana sih rasanya jatuh cinta?

Menurutku, jatuh cinta itu baik. Cinta memang tidak pernah salah, tapi kurasa cara pandang kami yang berbeda. Aku ini anak bungsu yang manja, keras kepala, dan tentunya juga ingin menang sendiri. Emang, siapasih yang tidak suka menang? Jika ada, apa dia kebanyakan menang ya? Atau dia terlalu jarang untuk kalah?

Begini, ketika si bungsu bertemu si bungsu. Aku tidak pernah yakin, hubungan manusia itu akan baik. Pasti pernah berlaga kehebatan, merasa...  aku tidak boleh kalah.

Aku begitu. Apalagi, ketika berselisih dengan kak Alfri perasaanku akan selalu campur aduk. Seperti perasaan bersalah yang dicampur dengan perasan egois.

Aku selalu bilang.

"Kak, kita gak cocok." Di telfon aku berdecak sebal. Aku memang masih labil, dan aku juga penakut. Aku hanya wanti-wanti kok.

"Biar."

Hanya itu. Dia segakperduli itu!

Aku tercengang. Menghela napas sejenak, semuanya gak akan pernah selesai jika dikerjakan dengan kepala panas. Aku paham, pola pikir kami berbeda. Aku, berfikir seperti anak seusiaku, begitu juga dengan kak Alfri. Menurutku, orang dewasa sepertinya terlalu rumit. Aku jadi serba salah di sini.

"Kak, yang bocil di sini siapa sih? Dira atau kakak?"

Dia hanya tertawa mendengarnya. Kesal? Tentu saja. Aku mencoba sabar-sabar kepadanya. Walaupun begitu, kak Alfri mengajarkanku banyak hal. Dia benar-benar menjadi pohon yang aku butuhkan. Karna yang aku butuhkan itu hanya pendengar sekaligus sport sistem, hanya someone. Juga di setiap masalah lima bulan terakhir ini, aku selalu bercerita kepadanya.

Dia selalu memberi saran yang membuatku paham dan terdiam. Menurutku, Kak Alri itu cenayang. "Dira gak nangis kok!" seruku membalas suara di sebrang.

"Enggak!" Dia bersikeras. "Kenapa nangis?" Seketika aku merasakan pipiku basah dan mulai merengek pada kak Alfri. Menceritakan kejadian memalukan ini butuh keberanian tau!

Rasa nyaman bertambah setiap harinya, aku senang. Namun, jika menghadapi sikap Kak Alfri yang suka menang sendiri itu sedikit membuatku muak. Walaupun aku tahu perkataan Kak Alfri selalu benar, lelaki itu selalu menepati janjinya. Memang, aku adik yang bodoh hahaha.

Iya, masih ada rasa yang menganggap aku dan kak Alfri itu hanyalah kakak adik saja. Aku bahkan lebih pantas memanggil Kak Alfri dengan sebutan 'paman'. Dari pada menjadi gebetan atau semacamnya, aku memang lebih baik menjadi keponakan kak Alfri, lagi pula keponakan kandung kak Alfri juga seumuran denganku.

Yang aku teramat kagumi dari kak alfri adalah, lelaki itu pandai mengaji. Itu mungkin juga salah satu penyebab aku menyukainya. Kak Alfri tipe yang teguh pendirian, berbeda denganku yang begitu labil ini.

Mau bagaimanapun, kami tidak akan cocok.

Setiap telefonan, pasti selalu ada drama saat mengakhiri percakapan. Drama-drama untuk menutup telfon adalah hal yang paling aku suka, tapi menyiksa. Karna ketika sambungan telfon sudah terputus, aku merasakan kehilangannya suara seseorang di telingaku.

Namun, bukan berarti percakapan kami akan selalu baik-baik saja. Kemarin aku baru saja beradu mulut dengan lelaki itu. Aku kesal karna dia menceritakan mantannya, dan kurasa kak Alfri masih menyukai mantannya. Aku insecure mendengar cerita tentang mantan kak Alfri dari kak Alfri langsung. Saat itu aku merasa seseorang yang tidak ada harganya, begitu jauh di bawah sana.

Jika dibilang kak Alfri tipe aku? Tidak, tipe aku seperti Dafa, tapi aku juga tahu. Aku juga bukan tipe ideal Kak Alfri, karna tipe idealnya tentu saja mantannya yang paling cantik itu.

Aku ini akan selalu terlihat bocil di mata kak Alfri. Beribu kali aku diledekin olehnya 'dasar bocil' terus 'dih bocil sok keras' dan 'Rara bocil'. Ini pipi rasanya selalu bersemu mengingat suara kak Alfri. Jantungku berdebar kencang, uhh...

Aku juga... mengeklaim kak alfri adalah milikku. Jadi jangan coba-coba merebutnya, kerna jodoh Dira itu Alfri, titik! Aku harus egois sekarang.

Semenjak dekat dengan kak Alfri aku merasa beda, seperti lebih rajin dari biasanya, suka mencari tahu hal baru dan merasa aku harus menjadi pasangan kak Alfri yang terbaik. Rasanya begitu seru bukan jika aku dan kak Alfri bisa menikah bersama.

"Astagfirullah." Aku menepuk jidatku pelan. Aku ini kenapa? Berpikir hal yang tidak-tidak. Seharusnya aku lebih mengendalikan diri. Namun, hatiku selalu berkata 'meminta untuk dijodokan bukan hal yang buruk' dan ya, aku merayu Tuhan untuk mengizinkan aku mencintainya. Walaupun aku enggak terlalu paham apa itu cinta.

Belakangan ini aku juga mulai terlepas dari yang namanya gagal move on. Aku senang, tentu. Aku juga senang ketika bercerita tentang apa yang aku suka pada kak Alfri, walaupun ujung-ujungnya ia akan berkata.

"Kalau ke kakak suka gak?" Rasanya aku ingin berteriak sangking saltingnya. Baiklah, membahas lemahnya hati ini membuat pipiku memerah. Tidak kuat huu.

Didekat kak Alfri bagaimana sih?

Author nanya begitu. Oke, aku jawab. Kalau menurutku sih seperti rasa ... nyaman dan aman. Kuharap ini rasa yang wajar. Sepertinya mataku sudah tidak sanggup lagi untuk mengetik. Aku pergi tidur dulu.

*
*
*
Diketik : 1099

GARA-GARA GLOW UP Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang