Happy reading :)
Awas typo!
-
-
-Hujan tadi sore masih menyisakan gerimis tipis juga hawa dingin. Suasana seperti ini sangat cocok untuk berkumpul bersama keluarga di ruang keluarga dengan suguhan camilan dan coklat panas.
Tapi itu tidak dilakukan oleh Alessa, Allen, Maya, dan Dhifa. Kini keempatnya sedang berkumpul di rumah Maya karena orang tua Maya sedang ada urusan di luar kota. Jadi Maya meminta teman-temannya menemaninya sebentar.
"Ih, kenapa gue terus sih, yang kalah?!" Alessa memekik kesal karena dari tadi ia terus kalah dalam permainan kartu Uno.
"Lo udah kalah 5 kali. Sesuai perjanjian, lo harus beli nasi goreng di gang depan, jalan kaki," kata Maya senang.
"Jahat banget, sih kalian. 'Kan hujan, gue pakai mobil, ya?" pinta Alessa dengan wajah memelas.
Maya menggelengkan kepalanya. "Itu perjanjian yang buat lo, ya. Masa lo yang nggak mau? Udah nggak hujan, kok. Tinggal gerimis tipis, doang," ujar Maya.
"Ck, iya-iya. Mana duitnya?" Alessa akhirnya menyerah karena ia juga sudah sangat lapar.
Maya tersenyum senang, lalu memberikan uang pada Alessa. Alessa mengambil jaket parka warna pink kesayangannya dari atas sofa kemudian pergi keluar rumah.
"May, kalau traumanya Alessa muncul lagi gimana?" tanya Allen khawatir.
"Nggak akan. Hujannya nggak deres, kok. Gak ada petir juga. Traumanya nggak akan muncul," kata Maya. Tapi tetap saja Allen khawatir terhadap Alessa.
Semenjak keluar dari rumah Maya, Alessa terus menggerutu.
"Kalau gue tahu gue yang bakal kalah, gue nggak akan bikin perjanjian kayak gini."
"Biasanya gue menang terus, kok. Kenapa ini gue kalah? Lima kali berturut-turut, lagi."
Alessa berhenti berjalan. Kemudian ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Keningnya berkerut. Alessa terus mengamati sekitarnya.
"Kok jalanannya beda? Perasaan gue nggak pernah lewat sini? Mana gelap, lagi," ujar Alessa yang sadar bahwa ia sudah salah jalan.
"Ini dimana, sih?" Alessa meraba-raba kantong jaket dan celananya untuk mencari ponsel.
"Ck, ketinggalan lagi HP gue."
"Hhh... Bodo lah, nanti juga pasti sampai." Alessa kembali berjalan. Walau ada rasa takut dalam benaknya.
Alessa tidak takut gelap ataupun hantu. Yang ia takutkan adalah jika ada penjahat di sekitar sini. Kalau ada hantu, Alessa bisa membaca doa agar hantunya hilang. Kalau penjahat? Mau dibacakan surat Al-Baqarah sekalipun, penjahatnya tidak akan hilang.
Lama-lama Alessa jadi semakin takut berjalan sendirian di tempat gelap seperti ini. Dari saat ia sadar salah jalan sampai sekarang, ia tidak melihat satu orang pun yang lewat. Dan parahnya lagi, di sepanjang jalan yang Alessa lalui, hanya dua saja lampu jalanan yang jaraknya berjauhan. Oh, satu lagi. Tidak ada rumah disana. Hanya pohon-pohon yang ada di kanan dan kiri Alessa.
"Ya Allah, tolong lindungi hambamu yang manis ini."
Kriek
Baru saja Alessa selesai berdoa, ia malah mendengar suara ranting diinjak. Alessa kembali merapalkan doa agar dilindungi.
Alessa mempercepat langkahnya. Semakin cepat langkahnya, ia juga semakin jelas mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dengan cepat Alessa berbalik badan. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat ada dua orang laki-laki dewasa di belakangnya. Yang satu berkepala botak dan yang satu berkumis tebal. Kedua laki-laki itu tersenyum yang membuat Alessa bergidik ngeri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Downpour
Teen Fiction[ON GOING] ~Laksana Jentayu Menantikan Hujan~ Sebuah kisah perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan. Menyerah bukanlah kata yang tepat. Bahkan hujan selalu kembali walau telah jatuh berkali-kali, seolah tidak peduli berapa banyak sakit yang d...