02 | [೫]

6K 991 13
                                    

❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀

"Gusti Prabu yakin jika Sawitra melewati jalan ini?"

Dengan selendang coklat tua yang sedikit usang, pria itu melenggang bahkan tanpa alas kaki. Hanya dengan seorang abdi dan dua prajurit, berbekal sebilah pisau yang tersemat pada pinggang dan busur panah di balik punggungnya. Rambutnya tergelung sedikit asal, kepalanya tertutup tudung untuk menyembunyikan keelokan rupanya sebagai seorang ksatria dengan darah dinasti Rajasa.

Sudah sangat lama ketika terakhir kali ia terjebak di sebuah antah berantah karena berburu, itulah sebabnya sang abdi menanyakan kembali ingatan Prabunya apabila ragu. Abdi itu khawatir jika mereka malah kian masuk ke dalam hutan rimba.

"Kau meremehkanku, hm?" Hayam Wuruk berbalik dengan senyum jahil, karena air muka Sabda kelihatan sudah was-was──pria itu takut dengan harimau hutan.

Sabda menundukkan kepalanya. "Mohon ampun, Gusti. Hamba hanya memastikan agar kita tidak tersesat."

Itu sudah hampir lima tahun yang lalu, ketika Hayam pergi berburu di hutan, yang masih termasuk kawasan kota Pajang. Saat itu ia masih sangat muda untuk memburu hewan liar dan masuk ke dalam belantara. Dengan formasi yang sama, hanya bersama Sabda dan dua orang prajurit. Namun, nahas tak dapat terelakan, mereka tersesat dan belum menemukan jalan keluar hingga matahari akan lingsir. Padahal, seharusnya saat-saat seperti itu adalah waktu mereka sudah menemukan kawasan penduduk atau setidaknya sebuah gubug untuk bersinggah dan mengisi tenaga yang terkuras.

Hingga seorang wanita baya datang, menemukan kumpulan pemuda dengan muka kelelahan, dan mengajak Hayam pergi ke sebuah desa kecil di kedalaman hutan. Dia menjamu Hayam dengan baik, memberinya makan dan minum, bahkan kain untuk tidur. Dia adalah Nyai Bajradewi.

Semuanya memang berjalan seolah Hayam adalah manusia biasa, sebelum Ki Arya, kepala desa, yang terkadang pergi ke ibu kota itu menyadari jika pemuda dengan luka pada dahi-nya adalah Sri Rajasanegara. Setelah itu, seluruh penduduk Desa Sawitra pun bergembira karena takdir membawa seorang Maharaja dapat menapakan kaki-nya ke tanah mereka.

Sebuah gapura bambu yang terlilit akar-akar tua membuat Hayam kontak sumringah. Pertanda bila mereka sudah sampai di Desa Sawitra. Hayam menjatuhkan tatapan remeh pada Sabda yang melongo terpanga, tak percaya bila Radennya itu benar-benar memiliki daya ingat yang tajam.

Hayam rindu bagaimana kesederhanaan Sawitra yang selalu menghangatkan batinnya. Dan ketulusan Nyai Bajradewi yang sudah seperti ibunya sendiri. Ia sangat ingin merasakan makanan yang dibuat oleh tangan Nyai Bajradewi lagi. Kegiatan berburunya kali ini ia rencanakan di daerah Pajang, dengan formasi yang sebenarnya sangat ditentang oleh Ibunda Tribuana dan aturan keraton. Namun, Hayam tetaplah Hayam yang terkadang ingin semaunya sendiri. Lagi pula, ia tak bisa membawa iring-iringan sebanyak itu untuk membuat penduduk Desa Sawitra kerepotan.

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang