25 | [೫]

3.9K 700 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀


"Itu sudah lebih dari cukup, Kangmas,"

Pitaloka kembali menyembulkan kepalanya dari dalam dapur. Dari jendela, ia pandang pria dengan banyak peluh di tubuhnya itu yang baru saja selesai mengumpulkan kayu-kayu kering untuk persediaan.

Hayam mengernyit tatkala sinar matahari sudah membias maniknya. Rasanya seperti baru saja ia pergi ke hutan sebelum ayam berkokok, namun, waktu benar-benar terasa lebih cepat dari dugaanya. Ia memutar badanya ketika suara Pitaloka menginterupsi, bersamaan dengan harumnya bau masakan yang menyeruak.

Kedua alis Hayam saling bertaut tatkala tak menemukan Pitaloka di dalam sana. Hanya jendela yang terbuka dengan asap tipis yang terkepul menyentuh langit-langit. Sepersekian detik ia hanya mencoba mengintip, gadis itu tiba-tiba muncul dari pintu belakang dengan sebuah selendang bersih dan kendi air.

Pitaloka menaruh kendi air itu sebelum ia menyeka peluh pada pelipis Hayam dengan selendangnya, "Seorang raja harus selalu menjaga citranya, Kangmas," ia bahkan merapikan anak rambut Hayam yang berantakan. "Kerapian adalah salah satu bentuk wibawa."

Gadis itu kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke atas tangan Hayam yang menengadah secara perlahan agar pria itu dapat membasuh mukanya. Setelahnya, Pitaloka memberikan selendang baru yang dibawanya tadi untuk mengeringkan wajah Hayam.

"Apakah memotong dahan-dahan kering di hutan juga membutuhkan wibawa, Pitaloka?" Ia terkekeh kemudian, "Lagipula aku hanya sedang bersamamu sekarang ini,"

Pitaloka terbahak, "Baik, tukang kayu. Aku mengerti,"

"Kau tahu, ada dua hal yang tak bisa kukendalikan, yang mungkin akan merusak wibawaku," potongnya disela-sela tertawaan renyah Pitaloka.

Gadis itu menaikkan kedua alisnya tinggi. Setelah beberapa kali Hayam kedapatan menggodanya, kini Pitaloka menjadi agak skeptis ketika sang Prabu negara adidaya itu akan kembali membuka suara. Pasalnya, pria itu hanya selalu terbungkus wajahnya yang lembut dan serius. Padahal, isi otaknya terkadang cukup konyol untuk diketahui.

"Memangnya apa hal yang tidak bisa Kangmas kendalikan?"

"Yang pertama adalah rambutku. Ibu bahkan sering mengomel ketika aku selesai melakukan kegiatan fisik, lalu rambutku akan sering berakhir seperti ini dan aku tidak membenahkannya kembali. Atau saat rambutku tak terikat dan diterpa angin, lalu aku malas menyisirnya,"

Pitaloka kembali terkekeh kecil. Meski Hayam adalah seorang Raja besar yang begitu dihormati, namun nyatanya ia tetaplah seorang bujang lapuk yang sering malas untuk berurusan dengan rambut.

Gadis itu berkacak pinggang setelah menaruh kendinya lagi di atas tanah, "Lalu yang kedua?"

"Perasaanku padamu," jawab Hayam seiringan dengan sebuah senyum seteduh rindangnya pohon bramastana. "Aku bahkan bisa menggila karena itu,"

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang