BUGH!
Sebuah bogem mentah baru saja lolos dari tangan Hayam. Tak hanya sekali, pria itu melakukannya 2 kali hingga Adhyaksa tersungkur ke tanah. Adhyaksa hanya terdiam tanpa melakukan perlawanan, hanya berpasrah saat sang penguasa monarki memberikan sebuah penghakiman.
"Berapa bayaranmu untuk mengkhianatiku, Aksa!?"
Adhyaksa baru saja melihat bagaimana kemarahan seorang Hayam Wuruk. Tak adal lagi sebuah kelembutan nada bicara, dan tutur kata yang selalu terikat tata krama. Kini yang Adhyaksa lihat bukanlah seorang raja, melainkan seorang teman yang tengah murka.
"Apa seribu keping emas mampu membuatmu kembali padaku!? Apakah bayaran itu kurang banyak daripada bayaranmu untuk mengkhianatiku!? Jika iya, kau ingin berapa, hm? Seribu? Seratus ribu!?" Dada Hayam bahkan terlihat kembang kempis sebab ia tak bisa lagi menekan emosionalnya. "Jawab, Rakryan!"
Adhyaksa menyeka darah yang menetes dari ujung bibirnya sebelum menengadah pada Hayam. "Jika hamba dibayar, apakah hamba akan dengan mudahnya menyerahkan diri seperti ini, Yang Mulia? Tentu hanya orang bodoh yang akan melakukan itu."
Adhyaksa hanya berusaha menjadikan dirinya tameng, lagipula, lagi-lagi memang ia sudah tidak ingin hidup.
Hayam mencoba menarik kembali udara segar yang bercampur dengan kemarahannya sendiri. Ia berusaha untuk tidak meninggikan nada bicara seoktafpun.
"Lalu ..." Hayam melirik pada lukisan yang kini tergeletak di atas tanah. "... kenapa kau melakukan ini? Kau sudah bosan hidup?"
Ketenangan Adhyaksa membuat Hayam berusaha untuk tidak semakin anarki. Pria itu menghela napas, dan mengambil lukisan yang terlempar jauh di sana. Ia membenahkan posisinya, dan duduk dengan punggung yang bertumpu pada dinding lembab.
"Jika hamba boleh menjawab, sudah dari dulu hamba bosan dengan hidup, Yang Mulia," sahutnya seraya menjadikan susunan bata merah itu menjadi bantalan kepalanya.
Kedua manik Adhyaksa menatap langit-langit temaram yang menyimpan kepulan asap suluh, "Sudah berapa banyak penaklukan, dan sudah berapa banyak peperangan yang hamba lalui. Jika orang beranggapan hamba tak pernah takut karena hamba adalah wakil panglima yang kuat, itu salah,"
"Hamba berani bukan karena hamba adalah seorang Rakryan yang kuat..." Adhyaksa menoleh ke arah Hayam. "... hamba selalu berada di garis pertama pertempuran bukan karena hamba ingin mencari pembuktian sebagai seorang yang kuat, tapi hamba hanya ingin mencari kematian sebagai pria yang payah,"
Adhyaksa berusaha tak menatap lukisan itu yang kini sudah berada di tangan Hayam. "Sesekali hamba ingin bercerita. Apakah Anda tahu, jika hamba belum pernah merasa benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis?" pria itu kemudian terkekeh. "Dan jika hamba tahu jika jatuh cinta itu semenyakitkan ini, maka lebih baik hamba tidak usah saja diberikan anugerah untuk bisa mencintai siapapun. Apalagi, mencintai gadis yang seharusnya tidak hamba cintai,"
Pria itu lalu tersenyum pada Hayam. Bahkan, sebuah senyuman yang baru pertama kali ia berikan. "Hamba hanya iri pada Anda, Yang Mulia," sambungnya.
"Apa yang membuatmu iri padaku? Prestasimu gemilang, kau bahkan lebih tangkas dan kuat dibandingkan aku,"
Adhyaksa menggelengkan kepalanya, "Anda dikelilingi oleh banyak orang yang mencintai Anda."
"Dan ampuni hamba, Yang Mulia. Itulah sebabnya kenapa hamba ingin membakar lukisan Putri Sunda, agar keegoisan Anda juga terbakar di dalamnya. Sebab di luar sana, bahkan banyak orang yang mati-matian membela Anda, demi cinta mereka pada Anda," Adhyaksa tak takut jika mungkin Hayam akan memenggal kepalanya setelah ini. Justru, hal itulah yang sebenarnya Adhyaksa cari.
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...