Dengan langkah lebar, kaki jenjang Adhyaksa memasuki selasar. Hayam Wuruk berbalik setelah menyadari langkah pria itu yang terdengar kurang tenang, tak seperti biasanya. Terbungkus pakaian sederhana tanpa alas kaki, kening Hayam mengerut tak mengerti. Peran apa yang sebenarnya akan Adhyaksa ambil?
"Kau ..." Hayam mengarahkan jari telunjuknya pada Adhyaksa.
Setelah memberi hormat, Adhyaksa melihat pakaiannya sendiri. Hayam sudah tahu betul bagaimana Adhyaksa yang tak pernah menyentuhkan dirinya pada sebuah kesederhanaan. Bukan ingin menghina sudra, namun, Adhyaksa yang dari kecil dibesarkan dari kalangan bangsawan itu tentu tak pernah berurusan dengan sebuah pakaian lusuh. Bagi keluarganya, pakaian adalah bentuk wibawa.
Adhyaksa kemudian bersimpuh; memberikan selaksa laporan pada Hayam selepas perbincangannya dengan Senopati Pajang tempo hari. Adhyaksa juga mengutarakan pendapat-pendapat dan rencana yang sudah ia susun untuk dapat dipertimbangkan oleh Hayam Wuruk.
"Sebelumnya mohon ampuni hamba bila menghadap pada Anda dengan pakaian tak layak seperti ini." diakhiri dengan tundukkan kepala sekali lagi, Adhyaksa kemudian melihat Hayam yang kembali menimang suatu hal.
"Kau benar akan melibatkan sudra?"
"Hamba akan bertanggung jawab atas perempuan yang hamba bawa, Gusti Prabu." Adhyaksa ingin meyakinkan Hayam.
Pria itu sempat mengangguk beberapa kali. Namun, setelahnya tetap risau. Seberapa pun mudahnya tugas yang Adhyaksa emban sebagai wakil panglima, namun tetap saja hal itu tidaklah aman bagi seorang gadis muda.
"Hamba sudah membeli rumah kecil di Trowulan. Hamba menjamin hidup sudra yang hamba bawa, jadi Gusti Prabu tidak perlu khawatir."
Hayam menghela. "Aku tidak pernah meragukanmu dalam hal tanggung jawab, Aksa. Tapi aku hanya khawatir jika ada terjadi suatu hal di luar kendalimu pada gadis sudra yang kau bawa."
Kata Hayam benar. Namun, sejatinya kehilangan satu sudra tak akan meluluh lantakkan Majapahit begitu saja. "Hamba yakin Sang Hyang adalah Maha mengetahui ketulusan niat, Gusti Prabu. Hamba berdoa agar perempuan sudra yang hamba bawa akan selalu ada dalam pelindungan-Nya."
Penguasa monarki itu hanya manggut-manggut, menepuk bahu pria yang lebih tua darinya. "Aku akan mengirim pasukan untuk menjaga Dadap selagi kau ada di sini. Aku yakin, mereka tak akan pernah menemukan Sawitra."
Adhyaksa mengangguk sekali, kemudian hendak bersimpuh untuk berpamitan pada Hayam. Namun ia mengurungkan niatnya itu untuk segera bergegas tatkala langkah kaki tenang terayun menuju selasar yang sunyi. Adhyaksa tersenyum tipis, wajahnya menegak untuk berhadapan dengan putri Bhre Wengker. Bagaimanapun kejamnya muka Adhyaksa, nyatanya gadis itu tetap saja memandanginya dengan sunggingan bibir lebar. Dia memang manis.
"Apa aku mengganggu kalian?"
"Tidak, Sudewi. Kami sudah selesai." Hayam langsung menyahut ketika Sudewi datang.
Sudewi melihat pada calon suaminya itu dan Adhyaksa secara bergantian. Sekian detik, keningnya kemudian mengerut tak biasa karena penampilan Adhyaksa yang kontras dengan bagaimana pria itu sehari-hari nya. Matanya berkedip heboh seolah meminta penjelasan.
"Mohon ampun bila Ndoro Putri terganggu dengan penampilan hamba. Ini adalah salah satu bentuk upaya kami untuk menyelesaikan tugas dari Gusti Prabu." Adhyaksa mencoba memberi penuturan.
"Oh, begitu." Sudewi hanya menjawab sekenanya. Dari bagaimana Adhyaksa yang enggan ber-panjang lebar itu, membuat Sudewi memberi kesimpulan bila tugas yang Adhyaksa emban cukup rahasia. Maka dia tak berhak untuk mencampurinya.
Sudewi hanya terkekeh guna mencairkan suasana. "Baik, Rakryan. Aku akan melihat sejauh mana kau akan terus bergelut dengan tuntutan keraton."
Memang sudah sekian lama Adhyaksa melajang tanpa sekalipun pernah melirik gadis-gadis bangsawan. Setelah ia tergabung dalam kemiliteran, ia memutuskan untuk tidak tertarik barang satupun perempuan. Apalagi ketika ia sempat tergabung dalam satuan pasukan khusus Bhayangkara⁵, berinteraksi dengan wanita pun enggan.
Begitulah bagaimana hidup Adhyaksa berjalan sangat datar. Terkadang sedikit landai bila tugasnya terasa berat. Sebatas itu saja, tak pernah ia merasa akan berjalan cukup dramatis. Jangan lagi dengan percintaan, berapa banyak lagi Adhyaksa akan mengingatkan jika ia bahkan tak pernah bersinggungan dengan perempuan. Adhyaksa juga bukan pria perayu handal, cara bicaranya saja menakutkan banyak orang.
Pria itu tak menjawab banyak; hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Sudewi. Adhyaksa beralasan bila ia harus mengurus keberangkatan gadis sudra yang akan ia bawa ke Trowulan dengan segera. Ia berpamitan, meminta berkat sang Prabu agar semua rencananya akan berjalan dengan lancar. Memang sebuah anugerah bila Adhyaksa dapat hidup bersisian dengan titisan dewa seperti Hayam Wuruk.
Melihat punggung kokoh Adhyaksa yang kian mengecil membuat Hayam menarik bibirnya simpul. Bahu lebar dengan beribu beban itu terlihat tak rapuh sama sekali, ia berjalan dengan angkuhnya seakan dunia dapat pria itu tundukkan di bawah kakinya. Adhyaksa adalah pria tak tersentuh. Sangat sukar menundukkan kepalanya. Ketika pertama kali Hayam mengenal Adhyaksa Jaheswaranbhumi saja, ia bahkan sedikit gentar. Itu sudah sekitar sepuluh tahun yang lalu, ketika Hayam baru saja mengalami masa pubertas dan Adhyaksa yang sudah memasuki usia delapan belas.
"Rakryan Adhyaksa terlihat seperti Paman Mada."
Hayam mengangguk setuju. "Perjuangan dan impiannya memang mirip, Sudewi. Tapi, ambisinya tidaklah sekaku Paman Mada ..." ada jeda bagi Hayam untuk membalas tatapan Sudewi. "... karena hati Aksa bahkan lebih lembut dari yang aku kira."
Hal tersulit selain mempelajari hukum tata negara adalah, meruntuhkan hati sang Rakryan Rangga. Beberapa wanita memang menyukai Adhyaksa karena prestasi juga keelokan paras yang pria itu miliki. Harta, jabatan, dan darah bangsawan Adhyaksa adalah kesempurnaan semu yang semua orang ingin. Namun, tetap saja kebanyakan dari wanita-wanita itu benar-benar menghindari roman kurang bersahabat Adhyaksa yang selalu mampu menggelorakan suar ketakutan.
"Benar, kita memang tidak pernah tahu kedalam hati seseorang, Kangmas ..."Netra Sudewi mengarah begitu saja pada bunga-bunga yang bermekaran di luar peraduan. Entah dari mana Hayam mulai berpikir untuk menaruh bunga-bunga itu di taman dekat kediamannya. Padahal, setahu Sudewi, Hayam tidak terlalu tertarik pada estetika sejenis ini. Pria itu jarang, bahkan hampir tak pernah berurusan dengan tanaman atau bunga apa saja yang akan menghias taman kerajaan. Biasanya Ibu Tribhuwana yang akan mengurusnya langsung.
" ... termasuk aku ..." sambung gadis itu.
Hayam kontak kembali menoleh pada Sudewi. Kilatan manik gadis itu yang sulit diterjemahkan membuat tarikan pada bibir Hayam menjadi sedikit kendur. Suatu hal yang sepertinya membuat Sudewi gundah, mengerutkan kening Hayam yang merasa bila setelah ini percakapan tidak akan terasa baik.
"... aku mungkin tahu hanya sedalam apa perasaan Kangmas, calon suamiku, untuk diriku. Tapi, aku tidak akan pernah tahu sedalam apa perasaan Kangmas untuk mendiang Putri Sunda itu."
Sudewi tak mampu lagi pura-pura bodoh dengan sebuah kebenaran jika Hayam masih mencintai Putri Pitaloka. Sudewi sadar bila dia pun juga tak akan bisa menghilangkan bayang-bayang ayu wajah Putri Pitaloka meski ia sendiri belum pernah melihat rupa gadis pujaan Hayam itu. Pasti rupa Pitaloka begitu memikat dan teduh.
Namun, tidak munafik pula. Hati Sudewi sangat pedih jika yang selalu ada di pikiran Hayam hanyalah Putri Pitaloka. Apakah tidak ada sedikit saja ruang di hati Hayam untuk Sudewi bisa tinggali? Apakah Hayam juga tak pernah memandang Sudewi sebagai seorang gadis dan calon permaisuri?
"Aku tahu pernikahan kita hanyalah sebuah pernikahan politik, Kangmas. Tapi, berdosakah aku jika memintamu untuk melupakan Putri Pitaloka Citraresmi demi Majapahit?"
· · ───── ·pitคl໐kค· ───── · ·
![](https://img.wattpad.com/cover/290703434-288-k473841.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...