19 | [೫]

3.4K 647 20
                                    

"Jadi, Prameswari harus pulang ke Sawitra," Adhyaksa mengakhiri ucapannya setelah ia menceritakan apa yang terjadi pada Hayam. 

Ia masih bisa meminum teh dengan Hayam di sela kesibukan yang belum usai. Adhyaksa menghela napasnya gusar. Hal yang paling ia sesali adalah kala ia tak bisa menemani Pitaloka untuk pulang pagi itu. 

Ini sudah hari ke-3 setelah kepulangan Pitaloka. Jabatan Adhyaksa yang sebagai Rakryan seperti sudah membelenggu kakinya yang jalang. Rasa hati tak rela membiarkan Pitaloka bersusah payah, namun, Adhyaksa benar-benar tak bisa meninggalkan keraton. 

Hayam hanya menganggukkan kepalanya menanggapi Adhyaksa. Hal yang paling dibencinya adalah jika ia melihat sebuah kesedihan, namun ia tak bisa melakukan apa-apa. 

"Padahal, tujuanku bisa bertemu dengannya hari itu, salah satunya adalah agar aku bisa membantunya bertemu dengan kedua orang tuanya. Di hari itu agendaku tak begitu padat, jadi, aku mungkin akan memiliki waktu lebih untuk bisa membantunya sebagai hadiahku yang lain karena gadis itu sudah mengurus Nyai Bajradewi dengan tulus. Tapi, sepertinya nasib berkata lain." 

Ia menyesap teh hangatnya tanpa nikmat. Kini Hayam bahkan juga berpikir tentang kesehatan Nyai Bajradewi. Karena bagaimanapun juga, kebaikan wanita itu masih membekas dalam hati Hayam yang terdalam. 

Hayam menggeleng, mencoba menepis kekhawatiran yang entah kenapa begitu kental dirasakannya. Ia tak mengerti, gadis itu hanyalah Prameswari, seorang sudra yang kebetulan hadir saja untuk semakin memperkeruh isi kepalanya. Namun, tetap ada sebuah rasa yang tak bisa Hayam jelaskan di mana ia benar-benar menjadi begitu cemas.

Hayam berusaha mengingat, tak pernah sama sekali ia bertemu dengan gadis bernama Prameswari sebelumnya. Akan tetapi, nalurinya itu seperti berkata lain. Seolah ada sebuah keterikatan batin dengan Hayam hingga ia sendiri bahkan bisa merasakan ketakutan yang mendalam. 

"Apa kau tahu jika Prameswari bukanlah anak kandung dari Nyai Bajradewi?"

"Hamba tahu dari Ki Arya," jawab Adhyaksa. "Hamba pun ingin membantunya, Yang Mulia. Tapi, hamba hanya merasa jika hamba bukan siapa-siapa. Hamba tidak ingin membuat Prameswari tidak nyaman karena hamba terlalu ikut campur,"

Hayam meletakkan cangkirnya kembali, "Tidakkah kau pernah bertanya siapa kedua orang tuanya, Aksa?"

Adhyaksa hanya menggeleng. "Hamba benar-benar tak ingin Prameswari merasa tidak nyaman, Yang Mulia Prabu," 

Namun, rasanya cukup aneh kala diterka jika Prameswari bahkan menyia-nyiakan sebuah kesempatan untuk tidak menilik rumahnya saat berada di Trowulan. Pasalnya, dia bahkan sedang bersama dengan seorang Rakryan, tentu tak ada yang perlu ditakutkan sebab Adhyaksa sendiri juga berniat membantu gadis itu.

Prameswari juga tak pernah berterus terang, jabatan apa yang dimiliki oleh bangsawan tersebut──yang pernah menginginkan gadis itu sebagai selir──siapa namanya, dan di wilayah Majapahit bagian mana pria itu tinggal. Setidaknya agar beberapa orang tahu dan bisa berhati-hati dengan pejabat yang ia maksud. Bahkan gadis itu tak pernah mengatakan pekerjaan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. 

"Apakah dia terlihat berusaha mencari rumah lamanya di Trowulan saat kalian sedang menjalankan penyamaran?" 

Adhyaska menggeleng kepalanya kembali. "Hamba tak pernah melihatnya pergi begitu jauh dari komplek yang kami tinggali," ia menjeda ucapannya sejenak dengan mengerling. "Hamba rasa, itu mungkin karena Prameswari masih menyimpan trauma sampai ia sendiri takut untuk menginjakkan kaki ke rumahnya sendiri," 

"Jika melihat masalah yang diceritakan oleh Ki Arya, aku tak yakin jika kedua orang tua Prameswari masih hidup hingga saat ini," pungkas Hayam. "Penolakan kedua orang tua Prameswari agar anak mereka tak dijadikan selir oleh seorang bangsawan tentu membuat sebuah keadaan keruh yang sudah pasti kau bisa duga bagaimana akhirnya," 

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang