31 | [೫]

4.1K 620 2
                                    

"Ndoro Putri Pitaloka sudah berjanji pada Putri Sudewi untuk membuat sepasang rangkaian bunga. Ini diberikan sebagai hadiah untuk pernikahan agung Yang Mulia Prabu dan Putri Sudewi." 

Merpati milik Hayam baru saja pergi, untuk mengirim surat pada Niskalawastu jika Pitaloka sudah ditemukan. Ayam masih belum berkokok, masih ada jangka waktu yang terasa aman jika surat Hayam akan sampai ke Sunda.

Ratmi sudah Hayam titahkan untuk menjaga Pitaloka sampai utusan mata-mata dari Sunda akan datang menjemput. Mereka gesit dan secepat kilat bayangan, maka Hayam mempercayai bagaimana mereka akan bekerja.

Semuanya sudah tidak berjalan seperti dulu; seperti ada tembok kokoh yang dibangun oleh Niskalawastu di antara Sunda dan Majapahit. Kini, pria itu tak mungkin akan menginjakkan kakinya sendiri ke tanah Majapahit, bahkan meski kakak perempuannya telah menunggu.

Hubungan Sunda dan Majapahit yang begitu renggang pun membuat Hayam harus putar otak agar Pitaloka bisa pulang. Dan tentu saja, meminta Sunda mengirim mata-mata untuk menerobos masuk adalah jalan satu-satunya. Hayam bahkan menuliskan arah ke mana saja mata-mata Sunda bisa masuk ke wilayah Majapahit dengan aman.

Hayam tidak takut, bahkan tidak pernah berpikir jika nantinya Sunda akan menggunakan jalan itu untuk membabat Majapahit. Sebab ia tahu, Sunda adalah negeri yang terhormat.

Ia berjalan ke arah lorong kamarnya dengan hati yang kelabu. Seraya membawa sepasang rangkaian bunga, ia menekan seiris emosional itu untuk tetap meredup.

Benar, tak ada yang sempurna di dunia ini. Ada hal yang pasti akan diambil, dan ada hal yang pasti akan dikorbankan. Sepenuh apapun duniamu, tidaklah sepenuh air yang mengisi segara. Kau mungkin diberkati dengan kekayaan, tapi kau rapuh dengan bilur nestapa. Kau mungkin dirundung kemiskinan, tapi kau memiliki segudang harapan dan selaksa harsa.

Kehidupan sempurna apa yang sebenarnya dimaksud oleh para manusia untuk mendesfinisikan seorang Hayam Wuruk. Kekayaan, takhta, dan kuasa tidaklah membuat Hayam berpikir jika hidupnya itu sempurna. 

"Mohon ampun, Gusti Prabu,"

Hayam terkesiap. Lamunannya itu buyar karena suara serak seorang pria memohon padanya dengan lancang. Ia mengerutkan keningnya ketika abdinya itu bersujud dengan badan yang bergetar. Tangannya yang menjadi tumpuan untuk dahinya bahkan seperti tak sanggup untuk menopang pikirannya sendiri.

"Ada apa?"

Ada jeda waktu bagi abdi pria itu untuk menenangkan napasnya yang tersengal. Ia bahkan tak berani menegakkan wajahnya pada Hayam yang kini terlihat berusaha membaca emosional pada garis muka-nya. 

"Lu-lukisan Putri Sunda ..." pria itu bahkan tergagap, 

"... semalam seorang pria dengan selendang hitam menerobos masuk dan melawan para pe-penjaga untuk mencuri lukisan Putri Sunda, Gusti," sambungnya. 

Hayam terkejut. "Kau melihat wajahnya!?"

"Menurut keterangan dua orang penjaga kamar Gusti Prabu, mereka tidak melihat bagaimana rupa pria itu,"

Hayam menautkan kedua alisnya berang. Sudah pasti bisa ditebak, jika pria dengan selendang hitam itu bukanlah pencuri amatiran atau bahkan pencuri kelas kakap. Akses menuju ke dalam kamar tidur Hayam sangatlah terjaga. Ada banyak lorong yang tak sembarang orang bisa tahu, bahkan pejabat keraton sekalipun. 

Dan keahlian-nya dalam menyusun strategi juga ketangkasan-nya menghalau selaksa penjaga, tentu membuat Hayam langsung berpikir jika tak mungkin pria itu hanyalah sudra suruhan sekuat apapun. Menerobos masuk ke dalam kamar Hayam, tak sembarang orang akan berhasil melakukannya. 

Tanpa banyak bicara, Hayam langsung melangkahkan kakinya lebar menuju ke dalam kamarnya. Semua ruangan yang ada, ditinggalkan dengan pintu yang terbuka, namun, tak ada satupun barang yang dirusak atau emas yang dicuri. 

Hayam merangsek menuju ke sebuah  ruangan di mana lukisan itu diletakkan sebelumnya. Dan benar, hanya tersisa kesunyian dengan 2 bilah kusen jendela yang terbuka lebar. Ia berjalan menuju ke arah jendela yang terbuka, dan menduga jika pria berselendang hitam itu keluar melalui jalan ini. 

Benar-benar tak ada satupun barang berharga Hayam yang dicuri, emas dan permata yang tergeletak pun tak pria itu lirik. Ia hanya membawa lukisan Putri Pitaloka dan meninggalkan sejuta tanda tanya. Ia bukan seorang pencuri yang haus akan gelimang materi.

Tentu saja, kejeniusan Hayam langsung menjatuhkan dugaan pencurian ini pada pejabat kerajaan. 

Hayam berbalik, dan kembali mengayunkan kakinya secara terburu. "Lakukan penggeledahan ke seluruh keraton tanpa membuat kegaduhan. Ayam masih belum berkokok, jadi lakukan dengan cepat!" 

"B-baik, Gusti Prabu." Abdi pria itu terbirit setelah menundukkan kepalannya pada Hayam. 

Hayam tak tahu harus mencari ke mana. Pria yang mencuri lukisan itu tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Namun, mungkin saja Adhyaksa bisa membantunya lagi kali ini. Pria itu juga sama tajamnya seperti Hayam, bahkan mungkin, 2 kali lebih tajam untuk menyelesaikan masalah seperti ini dengan logikanya. 

Ia berniat untuk menuju ke Kahuripan sekarang ini karena di sanalah Adhyaksa biasanya berada setelah ritual gerhana, meski Adhyaska tak pernah ingin untuk pulang. Hayam memisahkan diri dari para penjaga untuk berbelok ke arah di mana lorong temaram itu akan menuntunnya ke sebuah jalan pintas. 

Namun, Hayam berhenti saat bokor tembaga sebagai penanda arah kamarnya kelihatan tak sesuai seperti biasanya. Pahatan bunga cendana yang dikelilingi sulur itu berada di belakang, sementara pahatan bunga teratai berganti di depan. Seolah, ada orang yang berusaha melihatnya, kemudian meletakannya kembali secara sembarang. 

Hayam tertegun. Bukan hanya sekadar bersiasat, namun, pencuri itu bahkan tahu lorong rahasia yang akan menghantarkannya ke dalam kamar Hayam. Dari mana ia tahu lorong ini? 

Kabut tebal yang membalut pikiran pria itu kian menjadi. Ia menyambar suluh yang ada pada dinding, dan kilat matanya sudah memancarkan surya bara neraka. 

Namun, langkahnya kembali terhenti ketika pria yang sangat dikenalnya itu tiba-tiba ada di hadapannya. Tangan kanannya membawa suluh, dan tangan kirinya membawa sebuah benda berbentuk persegi panjang yang ditutup dengan kain putih. 

Hayam kembali mengernyit, baru saja ia akan menemui Adhyaksa dan syukurnya pria itu sudah muncul dengan sendirinya. Akan tetapi, sisa-sisa kewarasan Hayam kembali bergumul dengan logikanya. Kakinya selangkah mundur ke belakang setelah bias cahaya suluh itu memberikan sepekat cahaya untuk menerangi wajah tajam Adhyaksa. 

Hayam meninggikan dagunya arogan, "Apakah kau sedang tersesat, Aksa?" 

Sang Rakryan itu masih terdiam. Tak ada ekspresi yang jelas pada wajahnya, bahkan Hayam tak bisa membaca sorot mata Adhyaksa. Suluh yang semula ia angkat tinggi di atas kepalanya, perlahan turun untuk memberikan pencahayaan pada tubuhnya. Adhyaksa seakan tahu isi kepala Hayam, dan tengah memberikan sebuah petunjuk padanya. 

"Yang Mulia sedang mencari pria dengan selendang hitam, bukan?" sahut Adhyaksa. 

Pakaian yang tengah dikenakan Adhyaksa membuat Hayam mengepalkan tangannya. Bagaimana pria itu memandang Hayam membuat rahangnya mengetat. Hayam yakin, benda dalam kain putih itu tak lain adalah benda yang kini Hayam cari. 

Adhyaksa mendekatkan api suluh pada mukanya, agar kobarannya itu juga dapat membias dosanya. "Bagaimana jika pria itu adalah hamba?" 

•──────• Pitaloka •───────•

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang