Angin terasa berhembus kencang menyambar suluh-suluh rimpuh. Pepohonan berderit liar dan merengek lemah memekakkan telinga. Gubuk yang usang menjadi begitu dingin, kayu-kayu rapuh nya tak sanggup menopang kesunyian. Rasa kekhawatiran yang menyeruak membuat Pitaloka hanya dapat terduduk lemas di samping wanita renta yang tak bisa apa-apa.
Memandangi wajah pucat Bajradewi, Pitaloka tak dapat berkutik. Lagi pula, tak ia dapatkan apa-apa di Trowulan. Semuanya terasa nihil. Pitaloka malah mendapatkan jawaban atas hal yang tak penah ia tanyakan──tentang perasaan Hayam sesungguhnya.
"Maafkan aku, Prameswari." Nyai Bajradewi perlahan meraih tangan Pitaloka yang sedingin pualam murni. "Aku ... menghalangimu untuk pergi ke Trowulan, kau seharusnya sudah bertemu dengan kedua orang tuamu."
Gadis itu sejemang mengulum bibir. "Tidak, Ibu. Seperti Ibu yang tidak sengaja menemukanku di kegelapan malam, begitu juga nantinya aku pasti bertemu dengan orang tuaku. Takdir yang akan membawaku sendiri untuk berjumpa dengan mereka."
Nyai Bajradewi memberikan sebuah senyuman tipis yang rapuh. Sunggguh gadis yang malang.
"Apakah ... kau bertemu dengan Gusti Prabu, Nduk?"
Tidak. Mungkin saja benar jika takdir tak akan kembali mempertemukannya dengan Hayam. Matanya hanya mengerling, meredam emosionalnya dalam-dalam.
"Mungkin di lain kesempatan, Ibu," senyumannya itu benar-benar menyiratkan kebohongan. "Lagi pula, sudra sepertiku mana pantas berhadapan dengan Gusti Prabu?"
Sedikit tarikan bibir Nyai Bajradewi yang terkembang kembali membuat Pitaloka lega. Namun, seiris kekhawatiran masih membayangi kepalanya mengingat pesan Ki Arya bila mungkin saja wanita itu sudah akan menghadap pada Sang Hyang. Nyai Bajradewi adalah satu-satunya orang yang ia miliki di sini, Pitaloka tiada bersua siapapun lagi. Majapahit juga bukan tempat tinggalnya, Majapahit baginya sudah seperti nun antah berantah.
"Aku perlu berterima kasih pada Yang Mulia Raryan karena beliau sudah menjagamu dengan baik, Nduk."
Sejenak Nyai Bajradewi seolah mengingat sesuatu. "Ah. Apa kau bertemu Ratmi?"
"Ratmi?" Pitaloka menutup mulutnya geli. "Aku belum menemuinya. Kurasa dia sudah sangat bahagia dengan menjadi bagian dari abdi keraton. Dia pasti akan mendapatkan lelaki istana dengan kehidupan yang jauh lebih layak."
Gadis itu kemudian berdiri; membawa kendi airnya. "Aku akan mengisi air minum Ibu lagi."
Pitaloka berderap ke dapur setelah sebuah anggukkan dari Nyai Bajradewi menyahut ucapannya. Menaruh kendi di atas sebuah meja kayu, tangannya lalu membuka tutupan gerabah yang berisi air bersih. Ia mengambilnya dengan sebuah cawan, mengisi kendi air perlahan sampai cukup penuh. Ia mengangkat kendi itu lagi, dan membawanya ke dalam kamar Nyai Bajradewi.
Wanita itu terlihat tersenyum dalam tidurnya. Sepertinya Nyai Bajradewi sudah pulas. Pitaloka mengambil sebuah jarit; menutupi sebagian tubuh Nyai Bajradewi agar dinginnya malam tak lagi menghujam tulang-tulangnya yang rapuh.
Perlahan Pitaloka duduk di tepi dipan, meraih tangan Nyai Bajradewi seraya menyusuri jemari renta wanita itu yang sudah tak lagi menyimpan tenaga. Namun, tatkala ia menyentuh ujung telunjuk Nyai Bajradewi dan membaliknya, sepekat darah menghias telapak tangan yang tanpa luka.
Pitaloka tergagap.
Bibirnya kontan gemetar untuk berusaha membangunkan Nyai Bajradewi. Dengan sisa kewarasannya, Pitaloka berusaha mencoba mencari letak nadi Nyai Bajradewi, dan ia tak merasakan denyut apapun. Tangannya kini bergetar, telunjuknya mencoba berada di bawah hidung wanita itu──dan benar, tak ada hembusan napas yang menerpa kulit Pitaloka.
"I-Ibu." panggilnya. "Ibu bilang jika batuk ibu sudah membaik?"
Tak ada jawaban dari Nyai Bajradewi.
"Aku harus memberitahu Ki Arya. I-ibu ... harus dibawa ke tabib di pusat kota."
Gadis itu segera bergegas. Jarak antar rumah saling berjauhan, teriakan mungkin saja tak terlalu membantu. Pitaloka harus berlari di tengah gelapnya malam, di antara kesunyian yang legam. Satu-satunya rumah yang akan ia tuju hanyalah kediaman Ki Arya, berada paling ujung. Hanya pedati pria itu saja yang sanggup membawa Nyai Bajradewi bisa pergi ke pusat Pajang.
Hembusan angin menerbangkan selendang Pitaloka. Gadis itu hingga menyingkap jaritnya agar langkahnya dapat lebih cepat. Tak peduli sudah berapa banyak kerikil tajam menghunus telapak kakinya yang polos. Rasa sakit itu tak dipikirkannya lagi, dalam kepalanya sudah seperti benang kusut yang tak dapat dipintai kembali.
"Pitaloka."
Suara Ibunya itu kembali terbayang. Pitaloka berusaha tak menghiraukannya, dan melanjutkan langkahnya yang kian memberat. Pemandangan ini adalah pemandangan yang sama seperti kala itu, saat di mana malam rasanya begitu pekat.
"Pitaloka, cepat lari!"
Bruk!
Pitaloka menyerah. Ia terjatuh. Kedua tangannya itu menutup telinga, berusaha untuk tidak mendengar deru suara dentingan pedang-pedang itu lagi. Kini, suara-suara teriakan saat itu bahkan bersatu padu, seperti sebuah harmoni gamelan yang rancu. Tangisnya, pekikan kemarahan itu membebat pikirannya yang sudah mengabu.
Gadis itu berteriak. Meminta suara-suara dalam kepalanya untuk senyap, meminta malam tak menghadirkan kembali seutas kelam yang memilukan untuk dipendam. Pitaloka mengamuk, menangis, gelisah──nyaris seperti orang gila.
Tak ada seorang pun yang dapat mendengar racauannya. Kini, ia bersimpuh sendirian untuk menahan segala kesakitannya. Tidak ada Hayam, tidak ada Adhyaksa, tidak ada Nyai Bajradewi, dan tidak ada takdir. Dunia ini adalah ego.
Yang tersisa lagi-lagi hanyalah Pitaloka, dan dirinya sendiri.
•──────• Pitaloka •───────•
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...