❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀
"Hamba heran, kenapa mereka mengacau ke desa-desa terpencil di Pajang alih-alih Daha atau Kahuripan yang sangat dekat dengan ibu kota, Mpu Adhyaksa? Tidak masuk akal."
Mata Adhyaksa terbuka, tiupan tipis udara yang bergelung membuat ia dapat rehat sejenak dari bisingnya suara kepala yang beradu. Duduk beralas tikar rumput rasanya sudah lebih dari cukup meski pertama kalinya dia baru merasakan bagaimana tekstur kasar itu sedikit membuat duduknya tak nyaman.
Melakukan penyamaran rasanya akan lebih mangkus. Dengan bantuan Senopati Pajang, Adhyaksa mulai menyusun siasat. Pria itu hanya butuh satu sudra lagi, sudra yang tak banyak bicara dan menurut──hanya sebagai figuran yang akan membuat keberadaan Adhyaksa tak terlalu kentara.
"Semua orang tahu ..." Ia menjeda ucapannya, menyangga dagu dengan kedua tangannya yang terlipat kokoh di atas meja kayu. "... Pajang adalah kota yang berjarak, cukup jauh dari ibu kota. Kami menduga hal itu ditunjukkan agar penangkapan akan membutuhkan cukup waktu."
Muka Adhyaksa yang sudah tajam itu kain berangsur serius, mengerutkan nyali Senopati Pajang sendiri. "Tapi, menurutku, tidak sesederhana itu kenapa mereka memburu Pajang. Ada banyak pertanyaan di benakku, Gusti Prabu pun begitu."
"Ketika aku menginterogasi salah satu preman yang kutahan di Trowulan, ia malah lebih memilih mati dengan cara bunuh diri di dalam penjara. Preman bodoh tak akan melakukan itu, mereka bahkan akan dengan mudahnya berganti tuan demi sekantung gobog──nyaris seperti budak." Ia melanjutkan.
"Tapi preman yang kutangkap terlihat seperti telik sandi yang akan setia pada tuan-nya. Kau bisa mengerti apa yang kukatakan, 'kan? Ini seperti bukan komplotan preman biasa. Mereka memiliki rencana terselubung dari sekadar mengacaukan keamanan desa."
Pitaloka sedari tadi sudah ada di tengah pembicaraan genting dua pejabat tinggi kerajaan yang tengah duduk berhadapan. Dengan kaki bersila mereka berbicara. Gadis itu sibuk menyiapkan seduhan teh, namun sesekali tetap mencuri pandang ke arah Adhyaksa yang lugasnya bercakap tanpa kikuk.
Kemudian dia melihat Senopati Pajang yang menahan kantuk. Kantung mata pria itu cukup kentara. Seingat Pitaloka, pria paruh baya itu baru sampai di Sawitra menjelang matahari bangkit. Dan pagi ini rupanya ia langsung dihadapkan pada seorang Rakryan Rangga yang matanya berapi-api. Kasihan, ia belum sempat tidur.
"Senjata mereka terlihat berbeda, bukan? Bukan keris, atau pedang. Strukturnya sukar dijelaskan, bahkan sepertinya tidak memiliki makna sama sekali. Tapi, dari gerigi-gerigi ini, mereka benar-benar seperti ingin mengoyak daging manusia."
Pitaloka kini mengarahkan netranya pada senjata yang tadinya dibungkus oleh Senopati Pajang dengan karung goni. Adhyaksa tengah meraba alat itu dari atas hingga bawah dengan ujung jari telunjuknya, membuat Pitaloka meneguk ludah dengan susah payah sebab bergidik. Senjata itu terlihat seperti sebuah pedang yang lebih pendek dengan cabang-cabang tajam di setiap sisi seperti gigi Batara Kala.
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...