"Aku bisa membawamu kembali ke Trowulan, Prameswari,"
Ki Arya berujar dari ujung sana setelah mengikat kerbaunya di batang pohon kesara. Setelah memastikan jika kerbaunya itu dapat tidur dengan nyaman, ia berjalan menghampiri Pitaloka yang tengah duduk di halaman.
Gadis dengan selendang coklat tua itu sudah terlihat tak memiliki harapan. Kilatan matanya bahkan tak menyiratkan sepekat emosional yang dapat diterjemahkan. Pikir Ki Arya, mungkin gadis itu sudah memiliki cukup keberanian untuk pulang. Namun, nyatanya ia bahkan tak memiliki nyali untuk sekadar mengayunkan langkah.
Pasca melarungkan abu Nyai Bajradewi 3 hari yang lalu, Pitaloka kelihatan selalu lesu. Tak ada lagi senyuman manis dari bibir tipisnya yang ayu. Ia bahkan menjadi jarang berbicara. Berbaur dengan gadis-gadis Sawitra tiba-tiba saja merupakan sebuah hal yang sangat asing baginya.
Pitaloka menggeleng. "Tidak perlu, Ki Arya," bibir pucatnya tersenyum layu. "Aku akan berada di sini sampai takdir sendiri yang membawaku kembali. Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa,"
Ki Arya menghela napas. Sungguh terenyuh rasanya melihat seorang gadis muda yang hidupnya bahkan lebih memilukan dari hanya sekadar menjadi manusia berkasta sudra. Ia tak tahu kisah tragis yang seperti apa, yang bahkan rela memisahkan Pitaloka dengan kedua orang tuanya.
Ki Arya hanya ingin membantu untuk setidaknya Pitaloka dapat memiliki setitik cahaya rembulan dalam pekatnya malam. Namun, sepertinya gadis itu sudah benar-benar menyerah pada kehidupan. Saban tragedi pelik yang terjadi sudah membuat kakinya tak bisa lagi berdiri.
"Jika kau butuh bantuanku, bilang saja, Prameswari," Ki Arya menimpali. "Nyai Bajradewi sudah seperti Ibu bagi seluruh Sawitra. Aku hanya berterima kasih karena kau sudah berkenan menemaninya dengan tulus,"
Pitaloka menganggukkan kepala. Dia kemudian berpamitan pada Ki Arya untuk pulang setelah disadarinya jika malam sudah mulai larut. Suara lolongan binatang malam sudah bersatu padu menjadi sebuah harmoni mencekam.
Sesampainya di halaman rumah, Pitaloka terdiam sejemang. Kepalanya menengadah untuk menatap rembulan yang tertutup dengan awan hitam. Nabastala sepertinya tahu saja jika suasana hati Pitaloka memang sedang temaram. Kini ia benar-benar hanya berpasrah jika takdir akan mempermainkannya untuk kesekian kali.
Pitaloka sudah berjanji untuk menghabiskan malam gerhana bulan dengan Nyai Bajradewi. Ia bahkan berjanji untuk memberikan kebahagian bagi wanita itu menjelang hari tuanya. Namun, Nyai Bajradewi kini sudah tidak ada lagi, dan ironinya, Pitaloka belum sempat memberikan apa-apa. Takdir memang selalu memberikan kejutan.
Pitaloka bergeming, nurani gadis itu tengah beradu dengan akal sehatnya sendiri. Semua ini benar-benar tak masuk akal untuk dicerna bagi otak kerdilnya. Ia tak tahu akan menumpahkan kesedihan sekaligus kemarahannya ini pada siapa. Rembulan pun mungkin tak mampu mengerti Pitaloka.
Kakinya kembali berayun untuk masuk ke dalam rumah. Setelah menutup pintunya rapat-rapat, Pitaloka berderap ke kamarnya. Ke sebuah ruangan sangat kecil yang hanya berisi dipan dan meja kayu.
Keheningan kini menjadi begitu nyata. Apakah begini yang Adhyaksa selalu rasakan? Pantas saja pria itu selalu terdiam. Kesunyian memang dapat mengubah segala hal.
Tangannya perlahan membuka bungkusan kain yang ia sembunyikan di bawah dipan. Selendang juga jaritnya yang berlapis emas itu masih ia simpan. Sebuah gelang emas dengan aksen sulur dan rembulan diusapnya menggunakan jemari.
Ia ingat, dulu Niskalawastu pernah menginginkan gelang ini karena pria itu senang dengan motif sulur. Dan Pitaloka tentu tak ingin kalah, sebab ada simbol rembulan juga di dalam sana. Pitaloka terkekeh geli. Perebutan gelang itu berakhir dengan pembuatan gelang baru lagi, khusus untuk Niskalawastu. Dasar anak manja.
Ah, bagaimana kabarnya kini? Apakah anak yang suka merengek itu sudah mulai mengenal gadis cantik?
Pitaloka menaruh semuanya itu di samping tempat tidur. Ia berharap mimpi mungkin bisa membawanya pulang. Tangannya memeluk jarit keemasannya yang koyak, dan berusaha terlelap. Besok masih ada hari di mana dunia akan terus berjalan. Pitaloka juga perlu energi untuk bisa menyambung hidupnya yang melarat.
Namun, baru saja ia akan memejamkan mata, ketukan pintu dari luar menginterupsi telinganya dengan lancang. Pitaloka berusaha membuka matanya perlahan, dan menyembunyikan selendangnya itu kembali dengan kilat.
"Sebentar!" Pitaloka berseru dari dalam kamarnya karena ketukan itu terdengar tak sabar.
Pitaloka berderap keluar dengan sebuah garis yang tercipta di antara kedua alisnya. Tak ada interupsi seiringan dengan ketukan, membuat Pitaloka tak bisa mengidentifikasi siapa gerangan yang mengetuk pintu secara terburu.
Lagipula, ini sudah sangat larut. Siapa yang ingin bertamu di tengah pekatnya malam seperti ini?
Ketukan itu membuat Pitaloka tentu bergerak secara terburu pula. Dengan segera gadis itu membenahkan selendangnya untuk menutupi bahu yang terbuka. Tangannya kemudian meraih pintu dengan tergesa, dan menariknya cepat.
"Ada apa malam-malam begini──"
Sepasang tombak mata hitam legam yang tajam membius manik Pitaloka, membuat ia tertegun. Saban embusan angin seolah meniup sisa-sisa kewarasannya yang sudah kian samar. Detak jantungnya berdegup kencang, seiringan dengan ketukan jatuhnya air hujan.
Mata itu menatap Pitaloka tanpa berkedip. Bibir tipisnya tak bergumam, terkatup dengan selaksa kesedihan yang mendalam. Kerutan pada dahinya begitu mengindikasikan bagaimana lelahnya ia sudah melanglang buana. Kembang kempis dadanya adalah wakil dari ungkapan hasil yang tidak mengkhianati usaha.
Matanya itu semakin dalam mencoba meraih segala kemarahan pada iris Pitaloka. Daksanya yang tegap adalah representasi dari seorang raja negara digdaya. Kelembutan aksen mukanya adalah anugerah dari sang Hyang Widhi Wasa. Ketegasan alisnya itu adalah citra dari sebuah kelugasan di atas singgasana.
Keelokannya tak berubah──tanpa sekat dan tanpa celah.
"Pitaloka?"
Suara berat itu baru pertama kali terdengar dalam telinga Pitaloka. Suara yang dulu selalu ia nantikan dan dambakan. Begitu dalam dan penuh kekhawatiran. Derai hujan bahkan tak bisa menyembunyikan samar-samar isak tangis yang terdengar.
Pitaloka bergeming untuk meraup akal sehatnya. Bagaimana bisa pria itu menemukan Pitaloka pada akhirnya?
Bukan. Sepertinya bukan takdir tidak memihaknya, namun takdir hanya memiliki alur lain yang tak siapapun bisa menebak.
Nyatanya, takdir tetap menyatukan dua insan yang menang seharusnya memiliki pertemuan. Bukan dengan cara mereka, namun dengan cara takdir sendiri.
Tangan-nya yang dingin berusaha meraih jemari Pitaloka, namun gadis itu kontak mundur. Pitaloka masih terdiam dengan genangan air mata yang sudah hampir tumpah. Gadis itu hanya sedang mencerna kejutan takdir yang lagi-lagi harus hadir.
Pria itu tak berdaya saat Pitaloka memilih untuk mengindari sentuhannya. Selaksa rasa bersalah benar-benar membalut dadanya yang rapuh. Muka penuh ketakutan dari Pitaloka itu menghancurkan hatinya.
"Pitaloka, ini Kangmas."
•──────• Pitaloka •───────•
![](https://img.wattpad.com/cover/290703434-288-k473841.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...