13 | [೫]

3.5K 631 8
                                    

Sesampainya Hayam di Bubat, lututnya nyaris runtuh. Mayat-mayat prajurit Sunda tergeletak tak beraturan, bau anyir darah mendugal. Dengan banyak keraguan ia turun dari kudanya, mencoba menenangkan netra matanya yang telah mencari tak tentu arah. Pertempuran telah usai, Hayam sudah sangat terlambat. Namun, kepalanya tetap saja menoleh lunglai, mencari sebuah keberadaan yang sudah sejak lama ia nanti. Namun, hanya kegelapan malam. Matanya tak menemukan apapun selain hanya udara legam yang bebaur dengan keheningan temaram.

"Kau bisa menjelaskan ini, Sabda?"

Pria bersinjang kusut itu baru saja sampai setelah mengejar Prabunya dengan susah payah. Ia terengah sebab pasokan udara rasanya tak mengalir benar di dalam tubuhnya. "Mohon segala ampun Gusti Prabu Yang Maha Agung, Mahapatih Mada membabat habis p-pasukan Maharaja Linggabuana."

Kedua alis Hayam bertaut penuh emosional. "Kenapa Paman Mada melakukannya?"

"Gusti, Maharaja Linggabuana tidak setuju bila Sunda akan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit ... dan beliau sangat marah ketika tahu bila putrinya hanya akan dijadikan sebagai upeti. Maka, peperangan terjadi."

"Tidak ada yang meminta upeti. Tidak ada yang meminta Sunda tunduk di bawah Majapahit, Sabda."

"T-tapi begitu yang dikatakan Mahapatih Mada ketka beliau sampai di tanah Bubat, Gusti."

Kemudian Hayam berbalik, dengan banyak perhitungan dalam kepalanya ia menghembus pasrah. "Lalu ..." tarikan napasnya terasa berat. "... di mana Pitalokaku?"

Sabda, pria yang Hayam panggil itu benar-benar tak memiliki nyali lagi untuk menjawab. Kepalanya tertunduk begitu dalam hingga dahinya menyentuh tanah. Sepantasanya saja ia dihukum, dicambuk, atau bahkan diberi kematian.

"Aku bertanya, Sabda!"

Pria baya itu terkesiap.dengan penuh ketakutan, ia menjawab, "U-untuk membela harga diri kerajaan Sunda, seluruh wanita di dalam rombongan pergi ke perbatasan antara Sunda dan Majapahit, untuk melakukan ..."

Ia meneguk ludah kasar. "... melakukan bela pati."

Gasp!

Hayam membuka matanya. Ia menyeret tubuhnya sendiri hingga punggungnya menubruk kepala ranjang yang berukir Surya Majapahit. Jemarinya menyisir anak rambutnya ke belakang dengan gusar. Hembusan napasnya terdengar tak tenang. Mimpi buruk itu datang, lagi.

Berusaha mengatur napasnya dengan baik; berjalan ke arah meja berdiameter kecil yang terdapat dua buah bokor emas berisi air bersih. Tangannya mengulur, mengambil sedikit air untuk membasuh muka. Kemudian dua tangannya yang terkepal itu bertumpu, menyangga bahunya yang telah rapuh.

Sebuah peti kecil masih terbuka lebar sejak semalam. Hayam menaruhnya berdekatan dengan sekuntum bunga cempaka mekar. Ia kembali mengambil gulungan daun lontar itu dari dalam sana. Sebuah selendang merah terlipat rapi pula. Bibirnya yang penuh itu lagi-lagi menipis.


"Kangmas, gadismu ini sangat menyukai rembulan. Jika purnama sedang menyibak langit, maka aku akan menengadah. Aku tidak cukup piawai dalam merangkai bunga, maka aku akan merangkainya bersama indahnya alunan kidung rembulan yang kubawakan. Kangmas, jika terusik rindu dan ingin melihatku, maka pandang saja rembulan di atas langit. Karena aku adalah rembulan.

"Satu lagi Kangmas. Selain surat ini, aku mengirim selendang kesayanganku untuk Kangmas simpan, sebagai bukti tanda cinta kasihku yang murni."

"Tertanda, Dyah Pitaloka Citraresmi." 


Aksara yang gadis itu buat sangat indah, Hayam begitu menganggumi bagaimana Pitaloka merangkai setiap tulisan dengan apik. Kembali ia letakan di dalam peti, entah sudah berapa kali ia baca. Surat Pitaloka menenangkan batin dan menggoyahkan atmanya di saat yang sama.

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang