1 Tahun setelah perang Bubat
Kota Pajang, Majapahit, 1280 saka (1358 Masehi)"Nduk, Prameswari, tidak makan dulu?"
Di sebuah desa paling ujung, yang sedikit terisolir dari kota Pajang. Pitaloka ditemukan tak berdaya oleh seorang janda tua. Tubuh penuh luka dan memar di dalam hutan belantara membuat wanita itu iba. Dengan tubuhnya yang setengah bungkuk, Nyai Bajradewi menyelamatkan seorang gadis yang sekarat. Desa Sawitra menyembunyikan kebenaran bila sang Putri Sunda telah kabur.
Desa terpencil yang tak terjamah bahkan meski orang-orang keraton sekalipun, desa yang buta dan tuli akan segala hiruk pikuk kerajaan.Karena keberadaan Desa Sawitra pada antah berantah itulah yang membuat Pitaloka sangat kesusahan dengan segala warta keraton. Ia tak dapat mengerti akhir dari perang di Bubat, dan mencari tahu bagaimana keadaan Romo dan Ibunya. Ki Arya, si kepala desa berkata bila sebuah pencetusan larangan baru membuat Pitaloka kian tak bisa menerima berita apapun tentang perang di Bubat satu tahun yang lalu.
Hayam Wuruk memang tak akan mengubah isi undang-undang agung Majapahit dalam Kutara Manawa. Namun, larangan membicarakan peristiwa perang Bubat dan sosok Putri Sunda adalah aturan tak tertulis yang paten. Ah, rasanya, kini Pitaloka dan Sunda bahkan begitu najis bagi-nya hingga dapat mengantarkan siapa saja ke gerbang alam baka.
Pun, Pitaloka jelas tak bisa menerobos ke luar Majapahit karena pertahanan negara ini sangat ketat. Dia juga tak tahu ke mana arah gerbang keluar menuju Sunda. Pangeran Niskalawastu seperti tak pernah memberi kabar apapun pula seolah pemuda itu tak pernah mengingat bila ia memiliki seorang kakak perempuan yang tengah terjebak di luar Sunda. Namun, Pitaloka tentu ingat betul janji sang ibu kala itu. Dia masih percaya bila takdir akan tetap membawanya kembali pulang pada Ibu dan Romo.
"Nanti saja, Ibu. Aku akan mengantarkan ini terlebih dulu ke pusat kota Pajang."
Lagi pula, Pitaloka tak bisa meninggalkan wanita tua ringkih itu sendirian di sebuah gubug kecil yang sebentar lagi akan rubuh ditelan zaman. Dia benar-benar berhutang budi pada Nyai Bajradewi.
"Pedati Ki Arya akan segera sampai. Aku harus segera ke sana, atau aku akan tertinggal." jawab Pitaloka sambil mengangkat bakul berisi ubi dan dudutan.
Sebagai balasan atas kebaikan dan kemurahan hati Nyai Bajradewi, Pitaloka membantu wanita itu untuk menjual hasil kebun-nya ke pasar di pusat kota Pajang. Kendati tak dapat membantu banyak, namun setidaknya Pitaloka sudah mampu mencukupkan kebutuhan Nyai Bajradewi.
Petugas pajak sangat jarang datang kemari, bahkan hampir tidak pernah nampak. Selain hanya ditinggali oleh para sudra yang terlampau miskin, jalanan hutan yang mampu menyesatkan siapa saja itu tentu sukar dilalui oleh orang awam. Setidaknya penduduk Sawitra merasa tak terlalu terbebani dengan adanya pajak. Lagi pula, Majapahit sudah sangat kaya.
Biasanya sebelum ayam berkokok, pedati Ki Arya akan berhenti di sebuah pohon bramastana yang besarnya tak dapat diukur. Akar-akar kokohnya yang menembus bumi seakan dijaga oleh utusan baureksa. Di sana, Pitaloka akan menemukan gadis-gadis Desa Sawitra yang akan ikut menjualkan dagangan mereka ke pasar, atau beberapa biasanya hanya akan pergi ke sawah.
"Hati-hati, Nduk, Prameswari."
Kini, dia bukanlah seorang Putri Sunda lagi di mata banyak orang. Dia hanya Prameswari. Dia berkilah bila dirinya hanyalah anak dari seorang pelayan yang kabur dari pernikahan karena tak ingin dijadikan selir oleh seorang bangsawan bengis. Setidaknya alasan ngawur tersebut terdengar cukup masuk akal ketika melihat Pitaloka yang saat itu kabur dengan pakaian kerajaan-nya yang berlapis emas.
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...