"Romo, ini sulit,"
Sudah hampir 8 tahun pada akhirnya Hayam bertahan dengan sebuah kekosongan. Rasanya kenangan-kenangan itu baru saja ia dekap, namun, ternyata waktu sudah tergulung sangat cepat.
Anila menerbangkan angan yang semu. Pun mega menyembunyikan cintanya yang turut mengabu. Masih saja berharap, jika takdir akan memberi kejutan lain yang sudah ia tunggu. Namun nihil, Hayam hanya sedang berkhayal sambil duduk termangu.
"Kusumawardhani, kau bahkan belum menyentuh bunganya," tangan Hayam merapikan bunga yang sedikit terserak di atas lantai tempat tidur.
Kusumawardhani, nama yang cantik, bukan? Sudewi yang memberikannya.
Gadis kecil bermuka masam yang mengendurkan bahunya ketika berhadapan dengan bunga dan benang itu membuat Hayam terkekeh. Dia sangat mirip seperti ibunya ketika sedang merajuk. Lihatlah bagaimana bibir mungilnya yang mengerucut, tidakkah dia terlalu lucu?
Hayam mengangkat tubuh Kusumawardhani, dan memangkunya, "Ibumu sendiri yang memintamu untuk belajar merangkai bunga 'kan, Ndoro Putri? Jadi belajarlah atau ibumu akan marah lagi,"
Kusumawardhani menghela jemu, "Romo, ini benar-benar sulit," protesnya.
"Sulit bukan berarti kau tidak akan pernah bisa melakukannya. Lakukan saja apa yang sudah diajarkan gurumu kemarin, romo ada di sini untuk menemanimu,"
"Menemani saja? Tidak membantu?"
Hayam tergelak. "Kau pikir romo pernah menyentuh hal-hal seperti ini?"
Gadis itu hanya berdecak dan melengos. Ia mengambil benang dan beberapa jenis bunga dengan sangat terpaksa. Tangannya mulai berusaha untuk membuat sebuah rangkaian meski sesekali ia akan kesal sebab beberapa bunganya robek. Padahal, itu karena ketidak sabarannya sendiri.
Hayam mengelus puncak kepala Kusumawardhani, dan membenahkan jepit rambutnya. Dengan jahil, pria itu menyematkan banyak bunga kecil di sela-sela gelungan surai Kusumawardahi. Hayam tersenyum geli, ia hanya sedang menghias rambut si putri kecil.
Suara pintu yang terbuka membuat Hayam sedikit menegakkan kepalanya. Sudewi yang membawa sebuah kendi berisi air itu menautkan alis, meminta pertanggung jawaban atas kejahilan Hayam sebab rambut putrinya sudah hampir penuh dengan bunga.
Pria itu hanya tersenyum seraya mendekatkan jari telunjuknya ke depan bibir seolah berkata pada Sudewi, "Tolong bekerja sama sekali ini saja."
Sudewi menggelengkan kepalanya. Pantas saja kejahilan Kusumawardhani seringkali membuat Sudewi lelah. Ia bahkan nyaris lupa jika Kusumawardhani adalah anak Hayam Wuruk.
"Masalahnya, setelah ini aku akan pergi ke Wengker bersama Kusuma, Kangmas. Ibuku jelas akan tertawa melihat rambut cucunya yang penuh bunga seperti itu," ucap Sudewi setelah meletakkan kendi air itu di dekat sebuah bokor emas.
Sudewi mendekat pada Kusumawardhani, dan menyingkirkan tangan Hayam yang masih saja berusaha untuk memasang semua bunga di atas kasur ke atas rambut anaknya. Ia melepas bunga itu satu per satu sambil sesekali memberikan sebuah lirikan sinis pada Hayam.
"Setelah ini? Bukannya besok?" sahut Hayam yang kembali mendudukkan Kusumawardhani di atas ranjang.
Sudewi menghela napas. "Besok adalah hari penyambutan calon selir Kangmas dari Ibu Tribhuwana Tunggadewi. Jangan bilang jika Kangmas melupakannya dan malah sudah memiliki agenda untuk pergi berburu bersama Rakryan Adhyaksa?"
Hayam mengerling. Lagi-lagi ibunya itu sangat berambisi dengan politik. Hayam tak bisa menyalahkan Sudewi jika ia melahirkan seorang anak perempuan. Namun, bagaimanapun juga, Majapahit butuh seorang raja. Majapahit butuh seorang pria tangguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...