05 | [೫]

5.2K 814 8
                                    

Pitaloka baru saja kembali dari Desa Dadap, dari rumah seorang tabib untuk meminta racikan obat. Batuk Nyai Bajradewi kian terdengar tak sedap, dadanya saja sudah kembang kempis hanya untuk sekadar menarik ulur udara. Namun, hal bodoh yang Pitaloka lakukan adalah pergi ke rumah tabib itu setelah kentongan dipukul. Alhasil, dia baru kembali ke Sawitra menjelang larut malam.

Kabar maraknya preman yang menjarah membuat otak kecil Pitaloka terasa semakin berisik. Bersamaan dengan langkah kaki lebarnya yang sedikit terseok, suluh tergenggam mengobarkan api yang meliuk-liuk. Telinganya semakin menajam, kekhawatirannya sudah kian menghujam. Suara semak yang samar membuat Pitaloka was-was bila sepasang mata mungkin tengah mengintainya di balik sana.

"Nyisanak!"

Sial. Benar, 'kan!

Seolah tersambar petir, tubuh Pitaloka membeku sejenak dengan otak tumpulnya yang mendadak berhenti bekerja. Tanpa berpikir dua kali, jari-jarinya mengangkat jarik dan bergegas mengambil langkah seribu. Namun, semakin cepat dirinya berlari, semakin cepat pula suara ketukan kaki kuda itu mengejar dirinya. Entah bagaimana preman di sini bekerja, namun ketangkasan mereka tak boleh diragukan karena nyatanya sudra-sudra seperti mereka bisa memiliki kuda.

Namun, ini gila. Bagaimana mereka bisa menemukan Desa Sawitra? Bila itu adalah bagian dari rencana, memangnya apa yang akan mereka jarah dari orang-orang miskin di dalam gubuk reyot?

"Nyisanak, tunggu!" Pria itu memekik sekali lagi.

Karena ketidak seimbangan-nya itu, Pitaloka terjerembab. Jarik panjangnya membuat dia tersandung dan koyak. Suluh yang gadis itu genggam terlempar dan mati, menyisakan kegelapan yang semakin legam pada sela-sela napas terburu. Dia tak sempat berdiri ketika pria penunggang kuda itu turun. Kepalanya menunduk dalam-dalam dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada.

"Jangan menyentuhku, kau pria bajingan!"

Hanya hening. Perlahan mata Pitaloka terbuka tatkala tak ada sama sekali pergerakan. Gadis itu melengak, mengerjapkan matanya saat pria itu mulai mendekatkan bias cahaya obor untuk membantu Pitaloka bisa memandang wajahnya.

"Kau ..." Pria itu mengernyit, "... aku tidak salah memanggil, bukan, jika kau adalah Prameswari?"

Pitaloka berkedip-kedip. Runyam sudah citra dirinya yang anggun nan menawan karena baru saja mulutnya mengumpat pada seorang bangsawan. Dia harap Adhyaksa itu memiliki penyakit yang membuatnya mudah lupa.

"Tuan──maksud hamba, Yang Mulia."

Sebelah alis Adhyaksa terangkat. "Dari mana kau tahu aku?"

Rasanya, Adhyaksa bahkan belum memperkenalkan diri. Dari kelat bahu bersimbol burung garuda-nya saja, tempo hari gadis itu kelihatan tak mengenali siapa pria yang tengah menjulang di hadapannya dengan angkuh. Ah, lagipula memandang wajah seorang bangsawan darah adalah sebuah ketidak layakan bagi sudra.

"Teman hamba yang memberi tahu. Hamba mohon ampun bila saat itu hamba kurang berkenan di hadapan Yang Mulia Adhyaksa."

Pria itu hanya tersenyum miring, kemudian menahan kekehannya dengan memalingkan mukanya sejenak. Ia kemudian mengulurkan tangan, badannya mendekat ke arah Pitaloka yang berkedip salah tingkah.

Ketika obor itu kian memberi sinar pada roman sang gadis, Adhyaksa mengagumi bagaimana pahatan dewa di hadapannya bisa begitu sempurna hanya untuk ukuran seorang sudra. Bahkan gadis bangsawan pun mungkin tak dapat menandingi bagaimana indahnya pendar mata teduh yang sangat memikat itu.

"Mari aku bantu." Menyadarkan dirinya sendiri, Adhyaksa baru saja akan mengecap bila ia termasuk ke dalam salah satu pria bodoh.

Dengan bantuan kecil dari Adhyaksa, Pitaloka berterima kasih setelah membenahkan jarik-nya yang kian lusuh. Dia berdiri memberi jarak, membiarkan wajahnya tidak terlalu dekat dengan seorang bangsawan Majapahit. 

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang