G e r h a n a
"Cukup sampai di sini saja, Yu,"
Angin berhembus, sayu-sayup suara rengekan ranting itu bersahut. Bumantara sedang menyembunyikan awan. Cakrawala begitu gelap, menelan segala kepahitan dan gejolak semesta begitu saja. Seorang dayita raja sedang berlalu, hendak menyerahkan hidupnya yang nyaris kelabu.
Saban hari Pitaloka sudah pikirkan jika keputusannya adalah bulat. Tirai pepohonan yang dengan rindangnya menutupi jalanan hutan itu seolah tersibak ketika kaki sang dewi telah menapaki buana. Rembulan juga muncul dengan eloknya, mengiring Pitaloka ke sebuah tanah lapang yang tak gersang.
Ratmi menurut, kepalanya mengangguk sebelum gadis itu mulai bersimpuh dan memberikan sebuah pernghormatan terakhir pada seorang perempuan agung. Berbekal obor yang menyala, Pitaloka melangkahkan kakinya menuju pada kegelapan hutan yang paling dalam.
Jaritnya yang koyak saat itu, kini terlilit dengan rapi. Selendang merah berkilaunya berkibar-kibar terbawa angin. Gelang dengan aksen sulur dan rembulan itu terpatri dengan apiknya. Rambutnya yang tersanggul rapi disematkan banyak bunga melati.
Bibirnya itu tersenyum kendati kakinya yang tanpa alas menjejaki kerikil tajam. Jalan setapak ini bagai jalan raja yang dikhususkan untuknya. Pitaloka seperti merasakan kembali kala ia harus melenggang dengan anggun sebagai seorang putri kerajaan.
Embusan angin membuatnya bisa merasakan bagaimana atmanya yang kembali terbangun sebelum ia akan tertidur lelap setelah ini. Bukan, bukan tertidur, hanya, memiliki kehidupan baru. Pitaloka bukan ingin mati, ia hanya ingin mencari kehidupan baru. Ini juga bukan lagi perihal hati yang egois, namun jiwa yang menyanjung harga diri.
Tiba di sebuah padang rumput dengan kilauan sisa-sisa air hujan, Pitaloka membaringkan nampan tanah liat kecil berisikan bunga dan sebuah belati. Ia terduduk, memandangi ujung belati yang berkilat-kilat terbias sinar rembulan. Benda itu kini menjadi tak cukup menatkutkan dalam netranya.
"Tentu saja! Bisa-bisanya kakimu bahkan disentuh oleh tangan-nya yang agung. Apa sekarang kecantikanmu bahkan mampu menyihir pikiran manusia? Kau dapat ilmu itu dari mana?"
"Kenapa kau tak tertarik? Tidakkah dengan kecantikanmu itu, kau bisa menjadi simpanan atau bahkan menjadi selir Yang Mulia Adhyaksa, lalu keluar dari kubangan kemiskinan?"
Pitaloka tersenyum tipis. Wanita dengan jiwa antusias yang tak pernah padam, yang selalu meracau dan meributkan banyak hal, dan yang selalu menjadikan Adhyaksa sebagai pria utama dalam pikirannya itu membuat kehidupan Pitaloka yang pelik memiliki sedikit pijar cahaya.
Jika ingin mencari jodoh, mungkin kau bisa menemui Ratmi karena selain sebagai seorang pedangan pasar, wanita itu juga merangkap sebagai biro jodoh yang menghafal seluruh pria di antero Majapahit. Ratmi bahkan bisa mengklasifikasikan pria yang ditemuinya tinggal di Majapahit bagian mana hanya dengan mendengar caranya berbicara. Ia unik, bukan?
"Ya, aku akui, kau memang gadis yang kikuk dan penakut. Itulah kenapa kau sendiri bahkan merasa jika kau tidak terlalu menyenangkan untuk dijadikan teman."
"Aku bukan tukang kebun hingga mengetahui mana kemuning dan melati, Prameswari. Bahkan pria sekelas Prabu Hayam Wuruk mungkin tak bisa membedakan mana daun talas dan daun teratai."
Dari sekian banyak keberuntungan yang ia dapatkan di antara perihnya kehidupan di negeri orang, bertemu dengan Adhyaksa dan bisa berbagi banyak hal dengan pria itu adalah salah satu keberuntungan terbesar.
Pria yang selalu berusaha memahami Pitaloka meski ia sendiri bahkan tak bisa memahami dirinya sendiri. Adhyaksa adalah orang yang lucu, yang menghabiskan seluruh kesibukannya untuk memberikan pengabdian pada keraton, namun kehidupannya masihlah terasa kosong.
![](https://img.wattpad.com/cover/290703434-288-k473841.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romantik༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...